Menurut data Bank Dunia, lebih dari 30 persen anak-anak di dunia belajar di kelas dengan pendekatan kelas rangkap. Di banyak sekolah dasar dan madrasah dengan sejumlah kecil siswa di Indonesia, tidak ada pilihan selain mengelompokkan siswa dalam kelas rangkap, misalnya menggabungkan siswa kelas tiga dan empat dalam satu kelompok. Tidak ada cukup dana atau pun jumlah guru yang memadai sehingga tersedia satu guru bersertifikat yang mengajar di setiap kelas di seluruh sekolah di Indonesia.

Pemetaan guru di tujuh provinsi dan lebih dari 50 kabupaten dan kota selama 2013-2016 mengungkapkan bahwa: (a) terdapat kekurangan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) di hampir 50 persen sekolah dasar dan madrasah, serta di sekolah menengah pertama; ini salah satunya disebabkan karena guru-guru yang dulunya diangkat selama pembangunan sekolah besar-besaran dengan program SD Inpres di tahun 1970an kini mencapai usia pensiun; (b) semakin banyak SD dan MI–negeri dan swasta mempunyai 60 siswa atau kurang per sekolah atau madrasah di beberapa kabupaten (seperti kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan); dan (c) banyak SD dan MI di daerah terpencil tidak dapat digabung atau ‘dikelompokkan ulang’ karena hambatan geografis.

Risalah Kebijakan edisi Oktober 2019 ini mengeksplorasi isu-isu utama dan rekomendasi kebijakan tentang model pembelajaran kelas rangkap berdasarkan hasil pelaksanaan program INOVASI di Probolinggo, Jawa Timur. Risalah Kebijakan ini akan diperbaharui pada akhir tahun 2019 dengan mengikutsertakan hasil studi endline pelaksanaan program.