Di Kalimantan Utara dan seluruh kabupaten dan provinsi mitranya, INOVASI menggunakan pendekatan khas dalam mengembangkan berbagai program rintisannya untuk mencari tahu cara-cara yang terbukti berhasil dan tidak berhasil dalam meningkatkan hasil pembelajaran literasi dan numerasi siswa. Pendekatan ini menggunakan prinsip yang dikenal dengan sebutan Problem Driven Iterative Adaptation (PDIA). Dengan pendekatan ini, INOVASI bekerja dan memetik pelajaran secara langsung dengan mitra-mitranya di daerah dalam mengeksplorasi dan memahami konteks di daerah tersebut, serta merancang, mencoba dan menguji ide-ide solusi untuk permasalahan pembelajaran yang ditemukan di daerah. Di Malinau, Kalimantan Utara, baru saja diadakan workshop sintesis yang merupakan langkah kedua dalam pendekatan PDIA.

Workshop sintesis di Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara) menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, guru menyadari punya masalah mengajar literasi di kelas awal. Masalah itu meliputi kurang terampilnya guru mengajar, tidak menggunakan media pembelajaran, pengelolaan kelas yang kurang efektif sampai kepada teknik penilaian yang kurang tepat. Kedua, mereka yakin semua masalah itu bisa diselesaikan, asal KKG (Kelompok Kerja Guru) berjalan baik.

Workshop ini diikuti 57 peserta yang terdiri dari kepala sekolah, pengawas dan guru yang tersebar di gugus 1 Malinau Barat dan gugus 2 Malinau Utara.

Ibu Heppi adalah guru SDN 002 Malinau Barat, dan merupakan salah satu guru yang mengikuti workshop sintesis. Ia sudah mengajar selama 13 tahun. Empat tahun belakangan ini, Ibu Heppi ditugaskan mengajar di kelas awal, khususnya di kelas 1. Mengajar di kelas 1 bukan perkara mudah. Ibu empat anak ini harus menghadapi ragam tingkah laku anak yang baru sekolah. Hampir semua siswa baru Ibu Heppi tidak bisa membaca. Ia harus mengajar anak-anak itu dari dasar.

Saat ini Ibu Heppi mengajar 21 orang siswa. Setelah satu semester, seluruh siswanya sudah bisa mengeja huruf. Sebagian besar siswa juga sudah bisa membaca kata dan membaca kalimat. Dari 21 siswa, tinggal empat orang lagi yang belum bisa. Namun, 95% siswanya belum mampu memahami isi bacaan. Hanya dua orang siswa yang paham apa yang mereka baca.

Terampil membaca adalah kunci bagi anak bisa belajar dan berkembang. Hanya dengan terampil membaca, anak bisa mempelajari matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, bahasa dan agama di kelas berikutnya. Terampil membaca maksudnya anak mampu membaca, paham isi bacaan yang dibacanya, dan mampu mengembangkan isi bacaan itu dengan bahasa sendiri.

Anak harus bisa membaca, paling lambat kelas 3 SD. Jika tidak, maka anak itu berpotensi tertinggal jauh dari rekan sebayanya. Bahkan ia bisa gagal menyelesaikan pendidikan, karena tidak mampu belajar. Ini yang disebut efek Matthew: anak gagal berkembang karena tidak bisa membaca.

Ibu Heppi mengakui, sedikitnya jumlah anak yang bisa memahami isi bacaan tidak lepas dari rendahnya keterampilan mengajar guru. Ia dan guru lain belum seutuhnya menguasai materi ajar.

Akar dan Solusi

Workshop sintesis didesain untuk menemukan akar masalah pembelajaran, khususnya masalah literasi kelas awal. Setelah akar masalah ditemukan, maka kepala sekolah, pengawas dan guru harus mencari solusinya bersama-sama.

Langkah awal sintesis dimulai dengan memetakan temuan masalah pembelajaran. Temuan yang dimaksud adalah hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan pada tahap eksplorasi sebelumnya. Seluruh temuan itu diambil dari rekap laporan eksplorasi yang disusun oleh Fasilitator Daerah (Fasda).

Agar pemetaan lebih mudah, maka guru dikelompokkan berdasarkan kelasnya. Guru kelas 1 duduk bersama guru kelas 1, begitu sampai kelas 3. Mereka diajak melihat kembali masalah yang ditemukan Fasda. Setelah itu mereka menentukan mana yang menjadi akar masalah. Melalui proses pemetaan ini, mulai terlihat adanya kesamaan masalah guru di kelas awal.

Alur selanjutnya, peserta memilih prioritas masalah. Pemilihan prioritas ini harus memperhatikan dua hal. Pertama, masalah yang dipilih berdampak signifikan pada pembelajaran. Kedua, masalah tersebut dapat diselesaikan oleh guru.

Guna memudahkan pemilihan prioritas masalah, peserta dibantu dua alat yaitu pohon masalah (problem trees) dan pertanyaan 5 mengapa (five whys). Dua alat ini membantu guru melakukan refleksi pada dirinya. Mereka diajak melihat kembali kelemahan yang ada di kelasnya selama ini, juga kelemahan pada diri guru sendiri.

Guru sering kesulitan mengungkapkan masalahnya. Perlu keberanian untuk mengakui kekurangan dihadapan guru lain. Namun seiring waktu dan berkat kepiawaian Fasda memfasilitasi diskusi, satu per satu guru mulai mengakui masalahnya.

Setelah semua selesai menemukan masalahnya, ada perasan lega yang dirasakan guru. Ada banyak masalah yang disampaikan. Salah satunya adalah ketidakmampuan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Hasil observasi menemukan bahwa guru tidak membuat sendiri RPP untuk mengajar di kelas. Saat refleksi para guru kelas 1,2 dan 3 mengakui bahwa mereka belum paham cara membuat RPP.

“Sangat sangat senang. Paling tidak, bisa membantu guru memahami cara mengajar yang baik,” komentar Ibu Heppi tentang temuan masalah.

Ibu Heppi dan rekan guru lain, mengatakan mereka tidak paham menyusun RPP. Mereka kesulitan menerjemahkan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran menjadi strategi dan langkah pembelajaran. Kalaupun mereka punya RPP, itu diambil begitu saja dari internet. Mereka bahkan tidak mengerti bagaimana memakai RPP itu di dalam kelas.

“Guru terlalu mengandalkan (hanya mengunduh dari) internet. Guru perlu lagi dilatih membuat RPP, tanpa mengandalkan internet,” kata Ibu Heppi.

Banyak faktor yang menyebabkan guru tidak mampu membuat RPP. Mulai dari yang tidak bisa diatasi guru seperti kurikulum yang berubah cepat, sampai masalah kesempatan dan wadah belajar membuat RPP yang tidak tersedia. Mereka melihat KKG sebagai tempat yang tepat bagi guru menyelesaikan masalah ini. Hanya saja, KKG belum berjalan dengan baik.

Kegiatan-kegiatan KKG masih bersifat normatif. Guru hanya dikumpulkan kala pembuatan soal ujian. Sedangkan peran KKG lainnya sebagai wadah pengembangan keterampilan guru belum banyak dilakukan. Kegiatan-kegiatan seperti memahami instrumen kurikukum 2013, pelatihan merancang metode pembelajaran, pembuatan RPP dan menemukan cara menghadapi siswa yang sulit belajar, masih jarang dilakukan.

“Akar masalah kami ada di KKG,” tegas Ibu Heppi.

Ibu Heppi optimis jika KKG berjalan baik, permasalahan pembelajaran di kelas awal bisa diatasi. Dengan rutin bertemu dan berlatih bersama, guru bisa saling belajar. Ia meminta temuan masalah dari workshop sintesis segera diselesaikan oleh KKG. Guru harus didorong untuk bersama menyelesaikan masalah itu.

“Setelah menemukan akar masalah maka kegiatan penyelesaian akar masalah harus dilanjutkan di KKG dan jangan sampai berhenti setelah kegiatan selesai dilakukan,” jelas Ibu Heppi.

Kepala Bidang Pendidikan Dasar (Kabid Dikdas) Dinas Pendidikan Malinau, FX. Brata Puji Susila mengapresiasi hasil workshop sintesis. Bapak Brata melihat proses sintesis ini cocok bagi guru Malinau.

“Kegiatan seperti sintesis ini, harus sering dilakukan di KKG. Jika proses sintesis ini dilakukan konsisten, terencana dan bisa didokumentasikan dengan baik, maka itu memberi manfaat kepada siswa dan guru. Ini adalah salah satu bentuk pengembangan keprofesian guru,” tegasnya.

Bapak Brata mendorong guru rutin melakukan refleksi, melihat kembali kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dan menemukan akar masalah pembelajaran. Setelah itu mencarikan solusi agar kualitas siswa meningkat. Bapak Brata menganggap, gurulah yang paling mengenal siswa dan masalah di kelas. Sehingga guru juga yang paling mengerti cara menyelesaikan masalah itu.

“Solusi terbaik dari akar masalah adalah solusi yang datang dari diri kita sendiri, karena merupakan solusi yang sesuai dengan kebutuhan diri kita,” katanya.

Dua sesi workshop sintesis di Malinau itu mengingatkan kepala sekolah, pengawas dan guru untuk terus belajar. Dengan terus belajar, masalah bisa dicarikan solusinya. Menemukan solusi merupakan bentuk dari inovasi.