“Dalam transformasi pendidikan, salah satu peran pengawas sekolah adalah menghadirkan pembelajaran yang berpusat pada siswa,” kata Arifuddin.

Arifuddin S.Pd, menyadari peran strategisnya sebagai pengawas sekolah. Menurutnya, peran pengawas telah berubah menjadi pendamping yang bekerja sama dengan kepala satuan pendidikan dalam menggerakkan warga sekolah yaitu guru dan orangtua siswa untuk meningkatkan kualitas pembelajaran literasi, numerasi dan karakter peserta didik.

Di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ia membina sekolah di tiga kecamatan yaitu Plampang, Lunyuk dan Labangka dengan beragam tantangan. Total ada 1 sekolah yang berada di bawah supervisinya. Arifuddin merasa bangga saat melihat siswa mengalami peningkatan literasi yang cukup baik di SDN 1 Plampang, salah satu sekolah yang dia dampingi. Dari hasil asesmen diagnostik, sebagai salah satu komponen penting uji coba implementasi kurikulum merdeka, siswa yang sebelumnya berada di level intervensi khusus kini sudah naik ke level literasi dasar.

“Saya cukup kaget dengan hasil asesmen di SDN 1 Plampang, tingkat literasi siswa naik signifikan,” kata Arifuddin.

Upaya meningkatkan kemampuan literasi siswa tentu bukan persoalan instan. Lingkungan belajar yang diciptakan harus memberikan rasa aman, nyaman, inklusif, dan menyenangkan agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Di SDN 1 Plampang sebagai pilot program peningkatan literasi berbasis kearifan lokal yang diimplementasikan oleh STKIP Paracendekia NW Sumbawa dengan dukungan INOVASI, para guru dibekali serangkaian pelatihan uji coba kurikulum merdeka serta kolaborasi pembelajaran Teaching at the Right Level (TaRL) dan Platform Merdeka Mengajar (PMM).

Beragam materi disampaikan Arifuddin sebagai Fasilitator Daerah (Fasda) saat pelatihan pada guru kelas awal 1-4, materinya tentang TaRL dan IKM. Namun terlebih dahulu diberikan materi tentang pola pikir berkembang. Materi IKM ada beberapa diantaranya: assesmen awal, Pembelajaran Diferensiasi, Capaian Pembelajaran (CP), Tujuan Pembelajaran (TP), Alur Tujuan Pembelajaran (ATP), Modul Ajar (MA), penggunaan buku Bacaan, dan rapor pendidikan. Raport pendidikan sebagai salah satu bahan penyusunan target pencapaian nilai literasi siswa.

“Ada motivasi tersendiri bagi guru-guru kami dalam implementasikan kurikulum merdeka setelah mereka berhasil pahami materi tersebut,” kata Arifuddin.

Dengan pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan, guru-guru semakin kreatif dalam mendesain kegiatan pembelajaran serta mampu mengembangkan media belajar yang sesuai kebutuhan siswa. Guru menerapkan pembelajaran sesuai level kemampuan siswa dan optimalisasi penggunaan buku besar, buku berjenjang dan aneka buku cerita anak.

Sebelum penerapan pembelajaran berdiferensiasi sesuai level kemampuan siswa, sekolah-sekolah binaan Arifuddin belum memiliki data asasmen awal. Padahal pembelajaran berdiferensiasi diawali dengan adanya asasmen awal yang dilakukan guru melalui tes kemampuan membaca siswa. Hasil assesmen awal sangat penting bagi guru dalam merencanakan kegiatan pembelajaran.

Setelah guru mengikuti serangkaian pelatihan penguatan kapasitas uji coba implementasi kurikulum merdeka, barulah dilakukan asasmen awal. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan level kemampuan literasi siswa. Setelah pemetaan level kemampuan, siswa kemudian dikelompokkan berdasarkan levelnya tersebut untuk mengikuti pembelajaran. Materi pembelajaran harus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan siswa agar mereka dapat berkembang optimal sesuai kemampuannya.

“Siswa bisa membaca tetapi belum mengerti makna yang terkandung dalam bacaan,” inilah fakta yang harus dicarikan solusi bersama antara guru dan pengawas dalam proses pendampingan.

Arifuddin mengakui kemampuan guru menghadirkan pembelajaran berdiferensiasi sesuai level kemampuan siswa belum merata. Serangkaian pelatihan dari INOVASI maupun pengawas, masih dirasa kurang.

“Saya bina empat sekolah pilot project penguatan literasi bersama INOVASI dan STKIP Paracendekia NW Sumbawa yaitu 3 sekolah di kecamatan Plampang antara lain SDN 1 Plampang, SDN 2 Plampang, SDN 3 Plampang dan satu sekolah di Kecamatan Lunyuk, SDN Perung. Pemahaman guru dan pelaksanaannya di dalam kelas ternyata beragam,” sebut Arifuddin.

Ia kemudian menggiatkan pembinaan dan pendampingan satu-satu per guru saat visitasi sekolah. Pendampingan dilakukan untuk optimalisasi implementasi pembelajaran TaRL, pembelajaran berbasis kemampuan dan kebutuhan siswa serta penggunaan buku bacaan.

“Saya melakukan tiga tahapan dengan intensif pada guru kelas awal,” ucap Arifuddin.

“Tahapan itu antara lain pra observasi, observasi, refleksi. Saya merasa lebih optimal dengan pembinaan satu per satu ini,” imbuhnya.

Di SDN 1 Plampang sudah ada tiga guru kelas awal yang dibina intensif. Arifuddin berharap guru tersebut bisa menjadi tutor, berbagi ilmu dan berdiskusi dengan teman-temannya di sekolah. Ia menyadari tantangan terbesar dalam upaya peningkatan literasi adalah pola pikir guru yang belum berkembang. Merubah cara berpikir guru dibutuhkan keteladanan.

Ia menyebutkan, bagaimana pun model strategi pembelajaran berdiferensiasi pelaksanaan optimal saat di mata pelajaran bahasa Indonesia. Guru bisa menyiapkan rencana pembelajaran berdiferensiasi dan melaksanakan dengan konsisten. Sedangkan di mata pembelajaran lainnya belum optimal.

“Akhir semester kemarin, saya monitoring dan amati perubahan literasi siswa dengan penggunaan buku bacaan yang diberikan INOVASI,” kata Arifuddin.

Menurutnya, ada motivasi membaca siswa yang meningkat signifikan. Kolaborasi pembelajaran sesuai level kemampuan siswa dan penggunaan buku bacaan berjenjang sangat relevan. Penggunaan buku bacaan dalam pembelajaran secara rutin adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan motivasi membaca siswa. Buku yang diletakkan di pojok baca kelas membuat siswa pelan namun pasti memiliki kebiasaan membaca.

“Saya wajibkan membaca di awal pembelajaran pada guru. Durasi bisa 10 sampai 20 menit setiap hari,” ucap Arifuddin.

Budaya sekolah juga menjadi bagian penting dari transformasi ini. Budaya sekolah yang dibangun harus mendorong refleksi, pembelajaran, berbagi, dan kolaborasi antara semua elemen di dalamnya. Dengan budaya sekolah yang kuat, satuan pendidikan dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi pembelajaran yang efektif. Meningkatnya hasil belajar peserta didik juga menjadi ukuran keberhasilan dari transformasi peran pengawas sekolah, sebut Arifuddin.

“Kualitas pembelajaran harus terjadi secara berkelanjutan, sehingga setiap peserta didik dapat mencapai kemajuan yang signifikan dalam proses belajar-mengajar,” pungkas nya.