Putri adalah seorang siswa yang memiliki hambatan emosional dalam belajar. Namun, melalui pendekatan yang responsif, guru-gurunya mampu menciptakan lingkungan belajar yang inklusif yang memungkinkan Putri untuk mengatasi kesulitan, serta menunjukkan potensi yang dimilikinya.

Lombok Timur, Nov 19, 2024 | Suasana kelas 3 Madrasah di Lombok Timur pagi itu agak hening, hanya terdengar bisik-bisik dari para siswa yang tengah sibuk mengerjakan tugas. Ada 14 siswa di kelas itu; mereka duduk bersisian membentuk huruf U. Hampir semuanya duduk berpasangan atau berkelompok, kecuali satu siswa perempuan, Putri, yang terlihat duduk sendiri.

“Putri memang meminta ke saya untuk duduk sendiri, dan dan saya izinkan agar dia merasa nyaman,” kata Ibu Ratna Dewi, guru sekaligus Wali kelas 3 di MI tersebut. Keputusan ini adalah bagian dari pendekatan inklusif yang diterapkannya untuk memastikan setiap siswa, termasuk Putri, bisa berkembang sesuai potensinya.

Sejak di kelas 1, perilaku Putri telah menjadi perhatian guru-gurunya. Ia mudah tersulut emosi, sering tantrum, dan kadang menolak mengikuti pelajaran. Di luar kelas, ia kerap keluar tanpa izin, membuat para guru memutuskan untuk memberinya ruang, asalkan tetap di lingkungan sekolah. “Kami biarkan, dan biasanya ia kembali ke kelas setelah merasa lebih tenang,” cerita Ibu Ana.

Di ke kelas 2, wali kelasnya menemukan bahwa Putri mempunyai tantangan lain: kesulitan motorik halus. Jemari Putri kaku. Dia memegang pensil dengan menggenggam dengan seluruh jarinya, membuat proses menulis menjadi sulit. Ibu Miswanun Uyun, wali kelas Putri kala itu, mencoba pendekatan kreatif untuk melatih motoriknya. Ia meminta Putri meremas kertas sobek setiap hari, latihan sederhana yang perlahan membuahkan hasil. Lama kelamaan, Putri mampu memegang pensil dengan baik.

Kerja sama antar-guru di MI NWDI 04 Pancor menjadi kunci kemajuan Putri. Diskusi rutin antar guru dan pendekatan responsif yang diterapkan dalam kelas, termasuk mengenali tanda-tanda kesulitan belajar, menjadi sebuah budaya. Kondisi Putri terlihat semakin membaik setelah ada perhatian dan pendampingan khusus.

“Sekarang, kalau merasa kesulitan belajar, Putri tidak lagi menangis, marah, atau keluar dari ruangan. Ia sebatas tiduran di mejanya” cerita bu Ana. Ketika Putri terlihat berbaring di mejanya, Ibu Ana segera menghampirinya. “Saya ingin memastikan Putri merasa diperhatikan dan tidak sendirian dalam proses belajar,” ungkapnya.

Ibu Ratna Dewi tengah menjelaskan materi pembelajaran kepada seorang siswa berkebutuhan khusus. Sebagai guru, Ibu Ratna menyadari pentingnya untuk lebih responsif terhadap kebutuhan semua siswa, khususnya mereka yang memiliki tantangan dalam pembelajaran. Photo by © Junaedi Uko/INOVASI
Ibu Ratna Dewi tengah menjelaskan materi pembelajaran kepada seorang siswa berkebutuhan khusus. Sebagai guru, Ibu Ratna menyadari pentingnya untuk lebih responsif terhadap kebutuhan semua siswa, khususnya mereka yang memiliki tantangan dalam pembelajaran. Foto: © Junaedi Uko/INOVASI

 

Lingkungan belajar yang inklusif juga diciptakan dengan menanamkan nilai saling menghormati antar siswa. Perubahan positif terlihat: Putri kini lebih mampu mengontrol emosinya dan jarang tersulut marah. Bahkan, ia aktif menunjukkan potensi akademiknya. “Kadang ia terlihat tidak memperhatikan, tetapi saat diberi tugas, jawabannya selalu benar dan sesuai dengan yang Guru ajarkan,” kata Ibu Ana bangga. “Ini artinya, jika didampingi, Putri cepat belajarnya.”

Selain akademik, Putri menunjukkan bakat menggambar yang menonjol. Teman-temannya sering meniru gambar yang ia buat, meskipun hasilnya tidak sehalus karya Putri. Melalui dorongan dan apresiasi guru, bakat ini terus berkembang, memberikan Putri rasa percaya diri lebih besar.

Peran Program MAULANA dalam Pendidikan Inklusif

Kesuksesan para guru di MI NWDI 04 Pancor seperti Ibu Ana dan Ibu Uyun mendampingi Putri tidak terlepas dari pelatihan inklusi yang mereka dapatkan melalui program MAULANA (Madrasah Unggul Anak Hebat). Program dari Institut Agama Islam (IAI) Hamzanwadi dengan dukungan INOVASI, membekali guru dengan keterampilan untuk mendukung siswa dengan kebutuhan khusus, termasuk teknik sederhana untuk melatih motorik halus dan pendekatan responsif.

“Program ini mengingatkan kami bahwa setiap anak memiliki hak yang sama untuk belajar, apa pun tantangannya,” ujar Ibu Ana. Pemahaman ini menguatkan komitmen para guru untuk menciptakan pembelajaran yang inklusif dan ramah bagi semua siswa.

Putri adalah bukti nyata bagaimana pendekatan inklusif dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Dukungan dari guru-guru seperti Ibu Ana dan Ibu Uyun membangun kedekatan emosional di antara Guru dan murid seperti Putri. Hasilnya, Putri menjadi lebih bersemangat dalam belajar tiap harinya.

“Kadang kalau bel pagi sudah berbunyi dan saya terlambat masuk kelas, Putri akan datang ke ruang guru untuk menjemput saya. Suara sepatunya bisa didengar dari kejauhan, dan guru-guru lain sudah tahu kalau itu Putri yang datang,” cerita Ibu Ana sembari tersenyum.

Pada peringatan Hari Guru dan Hari Disabilitas Internasional, kisah ini mengingatkan kita bahwa pendidikan yang inklusif dan responsif bukan sekadar teori, tetapi sebuah upaya nyata untuk memberikan kesempatan yang setara bagi semua anak. Guru-guru seperti Ibu Ana dan Ibu Uyun adalah pilar yang membangun harapan, satu langkah kecil setiap harinya.

Ibu Uyun berdialog bersama murid-muridnya. Bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pendampingan program MAULANA beberapa waktu lalu, membuat Ibu Uyun dan guru-guru MI NWDI 04 Pancor Lombok Timur lebih siap dan peka Ketika mengajar siswa berkebutuhan khusus.
Ibu Uyun berdialog bersama murid-muridnya. Bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pendampingan program MAULANA beberapa waktu lalu, membuat Ibu Uyun dan guru-guru MI NWDI 04 Pancor Lombok Timur lebih siap dan peka Ketika mengajar siswa berkebutuhan khusus.