Itulah kesan Ahmad Mujahidin M.Pd, pengawas pendidikan Agama Islam Kementerian Agama Kabupaten Lombok Tengah yang juga sebagai fasilitator daerah (Fasda) INOVASI di kabupaten ini, terhadap INOVASI. Karena program tersebut turut mendorong agar anak berkebutuhan khusus (ABK) memperoleh pendidikan yang berkualitas.
“Ada kalanya kita disadarkan oleh orang lain. Program ini telah menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan bagi ABK itu sendiri,” kata Ahmad.
Menurutnya, memperhatikan ataupun peduli terhadap pendidikan anak khususnya ABK itu tidak hanya dianjurkan oleh pemerintah maupun INOVASI saja, akan tetapi dalam Alquran sendiri sudah diajarkan untuk perhatian kepada anak-anak berkebutuhan khusus. “Di Al-quran dijelaskan bagaimana manusia harus peduli dan perhatian kepada umat manusia yang memiliki kekurangan,” ungkapnya.
Ahmad Mujahidin tertarik bergabung dengan INOVASI karena INOVASI memiliki program rintisan untuk perkembangan pendidikan bagi ABK. Selama ini dirinya masih belum tahu bagaimana cara mengatasi ABK di dalam kelas.
“Ternyata guru bersama pengawas berperan penting dalam proses belajar mengajar ABK,” katanya saat ditemui di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lombok Tengah.
Setelah bergabung menjadi Fasda INOVASI dan mengikuti serangkaian pelatihan, dirinya menyadari bahwa tidak ada yang boleh membeda-bedakan antara ABK dengan siswa lainnya dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Ahmad juga mengetahui bahwa perlu dibedakan antara aspek perkembangan siswa ABK dengan siswa reguler. Ahmad berharap agar hal ini perlu juga disadari oleh guru dan pengawas lainnya.
Jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) di wilayah kerja Kementerian Agama sebanyak 273. Banyak siswa MI yang ABK namun penanganannya belum secara komprehensif. “Anak-anak tak merasa minder atau kecil hati dengan kondisinya. Namun, kurangnya perhatian guru maupun pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan siswa ABK yang membuat mereka jadi malas bersekolah,” jelasnya.
Dengan keberadaan INOVASI, ada perubaban signifikan pada ABK maupun gurunya. “Orang tuanya mulai perhatikan pendidikan anaknya, guru-guru mulai peduli sehingga anak-anak sekarang betah sekolah,” ungkapnya.
Ahmad lalu berbagi suka dukanya ketika menangani ABK maupun berhadapan dengan guru. “Ketika terbangun satu tekad dan semangat yang sama dengan guru untuk bersama-sama menangani ABK itu menjadi hal yang membahagiakan. Dukanya, guru jarang masuk, tidak sabaran dan mudah putus asa. Masalah gempa juga jadi kendala sebab ada beberapa guru yang mengabaikan tugasnya mengajar. Itu yang terjadi di wilayah utara tempat saya mendampingi sebab di wilayah itu kan daerah gempa,” ungkapnya.
Kepada pemerintah daerah dia berharap agar pemerintah mendukung sekolah inklusif, termasuk sekokah madrasah sebab banyak sekolah yang belum mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan bagi ABK.
Menurutnya pula, pemerintah daerah harus memanfaatkan keberadaan kyai atau ulama serta tokoh masyarakat setempat untuk memberikan pemahaman dan penyadaran kepada orang tua ABK tentang pentingnya pemenuhan pendidikan bagi ABK.