Deti Sumianti AR, S.Pd guru kelas 1 di SDN Perung, Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tak kuasa menahan haru. Ia mulai melihat perkembangan yang signifikan dari kemampuan membaca siswa dari pemula dan huruf hingga mampu membaca kata dan mengeja kalimat. Ada 5 dari 27 siswa kelas satu yang berada di level pemula atau baru mengenal huruf akhirnya bisa naik ke level kata.

“Alhamdulillah 5 siswa saya di kelas satu bisa naik ke level kata setelah dilakukan pengelompokan sesuai level kemampuan membaca,” kisah Deti.

Proses pembinaan yang dilakukan Deti tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia terlebih dahulu harus melakukan pendekatan dengan siswa dan mengetahui karakteristik dan kesulitan masing-masing.

“Ada siswa yang tidak masuk PAUD/TK sehingga baru belajar mengenal huruf saat masuk SD,” sebut Deti.

Dari hasil pengamatan, ternyata 5 siswa ini sering izin tidak masuk sekolah karena orangtua yang mengajak mereka bertani dan berladang. Karena mayoritas orangtua siswa petani, saat awal musim tanam siswa sering bolos tanpa izin karena ikut orangtua ke sawah. Tidak sekolah sampai 2-3 hari, alasannya membantu orangtua.

Ini kemudian penyebab siswa itu memiliki kemampuan membaca di bawah teman-teman yang lain. Deti merasakan tantangan pada pemikiran orangtua yang belum berkembang.

Mayoritas orangtua sebagai petani, jika diberikan pemahaman tentang pentingnya hak pendidikan anak menyetujui itu tetapi saat implementasi masih jauh di bawah standar. Deti melakukan pendekatan kepada orangtua siswa agar anaknya rajin masuk sekolah. Ia kemudian mulai melakukan pengelompokan sesuai level kemampuan membaca siswa.

Pada kelompok membaca pemula dan huruf yang dibina Deti diberi nama saling tulung. Saling tulung dalam bahasa Sumbawa jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu saling membantu.

Sebagai sekolah sasaran program Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) yang didukung INOVASI, ia sudah mengenal pembelajaran berbasis level kemampuan siswa atau teaching at the right level (TARL) melalui pelatihan penguatan kapasitas Kelompok Kerja Guru (KKG).

Dari pelatihan itu, Deti semakin termotivasi untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa melalui pembelajaran yang berdiferensiasi.

“Saya sebagai guru kelas awal sangat terbantu dengan adanya pelatihan tentang metode pembelajaran sesuai level kemampuan siswa yang disampaikan para fasilitator daerah,” kata Deti.

Setelah mendapatkan materi tentang asasmen awal, ia langsung menerapkan pada siswa kelas satu. Dari hasil asasmen awal, ada 5 siswa yang baru mengenal huruf. Sementara 22 siswa lainnya sudah berada di level kata dan paragraf. Ia kemudian membentuk kelompok sesuai level. Kebetulan ada satu siswa kelas 3 dan satu siswa kelas 4 yang memiliki keterbatasan yaitu disabilitas wicara dan lambat belajar sehingga berada pada level huruf.

Sebagai upaya menepis stigma tinggal kelas, Deti membuat kelompok belajar untuk membina 5 siswa kelas satu, satu siswa kelas 3 dan satu siswa kelas 4 tersebut di luar ruang kelas.

Pengelompokan ini dilakukan selama dua jam saat awal pembelajaran sampai waktu istirahat pertama. Durasi waktu ini dirasa singkat oleh siswa karena mereka begitu menikmati proses pembelajaran.

“Kadang kami belajar di halaman sekolah, di bawah pohon, di bale literasi juga agar siswa lebih nyaman,” kata Deti.

Bale literasi adalah rumah kecil (gasebo) yang berfungsi sebagai pojok literasi. Di bale literasi ada buku bacaan dan papan tulis kecil yang tersedia untuk proses pembelajaran. Siswa lebih senang belajar di bale literasi karena sejuk di ruangan terbuka.

Selama dua minggu pengelompokan sesuai level, Deti menggunakan beragam media pembelajaran untuk menarik minat membaca siswa. Ia juga membacakan cerita dari buku besar bergambar dan aneka buku cerita sesuai level kemampuan membaca siswa yang diberikan INOVASI.

Dari proses bercerita itu, Deti menemukan kata yang sering digunakan siswa sehari-hari agar membantu mereka lebih mudah mengenal huruf.

“Saya juga buat media pembelajaran dari kertas buffalo warna warni untuk membantu siswa mengenal huruf,” cerita Deti.

Selain itu, ia juga mengajak siswa bermain tebak kata dan ular tangga. Tujuannya agar siswa bisa bermain sambil belajar.

Saat dua minggu berlalu, siswa ketagihan dengan belajar kelompok. Bahkan, mereka yang minta belajar lagi dengan teman kelompok. Mereka merasa lebih diperhatikan saat pembelajaran sesuai level ini.

“Siswi kelas 4 itu lebih rajin dari adik kelasnya saat belajar kelompok di luar kelas. Ia jadi contoh dan tutor bagi adik-adiknya,” jelas Deti.

Berdasarkan testimoni dari wali kelas tiga dan empat, dua siswa dari pengelompokan itu sudah memiliki perkembangan signifikan. Mereka bisa mengeja kata dan mengalami perkembangan yang luar biasa untuk motivasi belajarnya. Menurutnya, metode pengelompokan sesuai level akan tetap ia Terapkan secara berkelanjutan saat awal tahun ajaran baru nanti pada Juli 2023.

Deti sendiri sudah 19 tahun menjadi guru di SDN Perung. Ia terbilang cukup lama menjadi guru honorer. Meski dengan gaji terbatas, ia merasa bahagia. Menjadi guru adalah profesi yang ia dambakan sejak kecil.

“Interaksi dengan anak-anak adalah healing terbaik bagi saya. Disitulah bahagianya menjadi guru,” kisah Deti.

Ia baru diangkat menjadi guru PPPK pada 2021. Saat ini Deti sedang melanjutkan kuliah semester akhir di Universitas Terbuka (UT) untuk mengambil jurusan spesifikasi S.Pd, SD.

Selain itu, lokasi rumah Deti juga berada di samping sekolah. “Kepala sekolah juga minta saya buka les tambahan pada anak yang belum bisa membaca dan menulis. Alasan itu yang buat saya dipercaya menjadi wali kelas satu.

Saya juga berikan les tambahan pada siswa saat di rumah, jadi anak-anak bisa belajar lebih santai,” cerita Deti.

Menurutnya, kepala sekolah sangat mendukung proses pembelajaran. Ia berharap pemerintah bisa memberikan bantuan buku bacaan lebih banyak lagi agar siswa bisa memegang buku satu per satu.

Hanya saja, hingga saat ini Deti mengakui masih kesulitan membuat modul ajar pada kurikulum merdeka. Hal itu karena keterbatasan materi ajar. Ia juga mengakui tidak bisa membuka platform merdeka mengajar (PMM) karena jaringan Internet yang naik turun.

“Kalau hujan dan cuaca ekstrem angin kencang, sinyal internet di Desa Perung akan terganggu. Saya hanya buka PMM saat di sekolah karena ada jaringan WIFI. Saat di rumah data seluler tidak lancar,” ungkap Deti.