Guru kelas awal memiliki tanggung jawab besar dalam membangun keterampilan fondasi seperti menulis, membaca dan menghitung. Ketiga keterampilan inilah yang akan menentukan bagaimana siswa menjalani pembelajaran di kelas-kelas berikutnya. Jika fondasinyanya kokoh, mereka dapat mengikuti pelajaran dengan mudah. Sebaliknya jika fondasinya tidak kuat, maka dapat pembelajaran selanjutnya akan lebih sulit. Ibu Dian Sumarni, S.Ag guru Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) NW Selong di kabupaten Lombok Timur (Lotim) menyadari betul hal ini. Tanggung jawab lain yang juga dia sadari adalah bagaimana menyediakan pijakan awal yang nyaman di lingkungan sekolah bagi anak-anak yang sebelumnya berada di rumah. Menurutnya, anak-anak akan memberi perhatian pada apa yang diajarkan jika mereka merasa nyaman, termasuk jika mereka diajar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka.

Sudah enam tahun terakhir ini Ibu Dian diberi amanah memegang kelas 1 di sekolahnya. Tantangan terbesar yang dia hadapi dalam mengajar membaca adalah karena banyak dari anak-anak ini yang tidak datang dari PAUD atau TK. Mereka belum pernah mengenal huruf sebelumnya sehingga harus mulai dari awal. Kemudian juga, mereka biasanya terlihat canggung dengan suasana kelas karena belum terbiasa berinteraksi dengan banyak teman-teman baru. Berbeda dengan yang sebelumnya sudah pernah menjalani TK atau PAUD.

Anak-anak seperti ini yang selalu coba saya identifikasi sejak awal dan jadi fokus untuk diberikan pendampingan.” Ucapnya.

Tantangan lain yang dia lihat adalah masih kurangnya dukungan orang tua pada pendidikan anak ketika mereka  di rumah. Terlebih, banyak diantara anak-anak yang dia ajar di kelas yang ternyata tidak tidak dengan orang tua mereka, melainkan dengan kakek, nenek ataupun kerabat lain. Anak-anak dalam kondisi ini umumnya kurang mendapat perhatian di rumahnya. Orang tua sepenuhnya mengandalkan sekolah untuk pendidikan anak. Ini membuat apa yang sudah berjalan di sekolah tidak bisa berlanjut di rumah. Pembelajaran jadi terputus dan ini menghambat perkembangan siswa.

 

 

Pandemi menambah tantangan pembelajaran. Ibu Dian mengaku bahwa proses pembelajaran tidak bisa berlangsung maksimal. Guru-guru tidak terbiasa dengan model pembelajaran jarak jauh. Belum lagi kendala dengan belum meratanya akses teknologi. Banyak siswanya yang tidak punya perangkat gadget. Selain itu, orang tua yang diharapkan jadi perpanjangan tangan para guru di rumah ternyata memiliki hambatannya masing-masing. Ada yang tidak bisa meluangkan waktu, dan adapula yang tidak bisa memahami materi pelajaran.

Memahami Keberagaman Anak

Sejak dulu Ibu Dian memahami bahwa ada keberagaman kemampuan membaca diantara siswanya. Hanya saja, dia belum menaruh banyak perhatian pada kondisi itu dan tetap mengajar sebagaimana biasanya. Pandangannya mulai bergeser sejak dia mengikuti pelatihan peningkatan kemampuan literasi bagi guru madrasah melalui program Madrasah Unggul Anak Hebat (Maulana) di bulan Agustus. Program ini adalah bagian dari kemitraan antara Pemerintah Indonesia dan Australia di bidang pendidikan dasar di mana untuk Kabupaten Lombok Timur diimplementasikan oleh IAI Hamzanwadi.

Pada pelatihan tersebut, Ibu Dian bersama beberapa koleganya sesama guru madrasah lainnya mendapat penguatan kapasitas mengajar termasuk tentang mengajarkan literasi siswa berdasarkan tingkat kemampuannya. Pelatihan tersebut membuka pandangan Ibu Dian bahwa setiap anak yang ada di kelasnya berhak mendapat pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan mereka masing-masing.

 

 

Usai pelatihan, Ibu Dian bersama rekan-rekannya langsung menemui Kepala Madrasah tempat mereka mengajar untuk menceritakan apa yang baru saja dilatihkan. Mereka berbagi tentang model pembelajaran berdasarkan kemampuan itu danmeminta dukungan kepala madrasah agar itu bisa diterapkan. Sambutan kepala madrasah ternyata sangat baik. Ibu Dian dan rekan-rekannya mendapat lampu hijau untuk menerapkan model pembelajaran yang baru saja dilatihkan ke mereka. Siswa-siswa dari tiga kelas awal dikelompokkan berdasarkan level kemampuan literasinya.

Model pengelompokkan ini ternyata membawa perkembangan yang lebih baik bagi siswanya. Kemampuan mereka dalam hal membaca bisa meningkat lebih cepat dibanding pendekatan yang dahulu Ibu Dian gunakan. Dan tidak sebatas keterampilan teknis, mengikuti program Maulana ini juga memberinya semangat dan inspirasi baru dalam mengajar. Pelatihan ini, juga memberi sesuatu yang berbeda dari pelatihan peningkatan kapasitas lainnnya yang telah dia ikuti.

Ini sangat menyentuh karena langsung berhubungan dengan siswa-siswa saya. Bagaimana memperlakukan mereka sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya di dalam kelas. Jika keadaannya memang masih di level rendah, kita berikan dia sesuai keadaannya. Artinya, pendekatan dan materi yang kita berikan tidak salah sasaran,” Cerita Ibu Dian.

 

 

Penggunaan material dan media bantu seperti kartu huruf dan gambar-gambar yang dilatihkan oleh program Maulana ini juga menjadi pengetahuan berharga bagi Ibu Dian. Metode dengan penggunan alat dan media semacam ini ternyata membuat anak-anak didiknya bisa meningkat lebih cepat.

Mereka lebih memperhatikan kalau menggunakan alat dan media sehingga bisa lebih cepat menguasai yang diajarkan. Pertama mereka suka dengan gambarnya kemudian mereka mencari tahu soal huruf-hurufnya. Seperti itu. ” Lanjutnya.

Pembelajaran yang Nyaman dan sesuai Kebutuhan

Pembelajaran jarak jauh menimbulkan tantangan dalam pembelajaran. Selain pada aspek kemampuan fondasi anak, menurut Ibu Dian anak-anak juga tidak terbangun secara emosional, sosial dan karakter kepribadiannya. Mereka terbiasa di rumah dengan keluarga dan orang tua selama pandemi terlihat kikuk saat mulai masuk sekolah dan bertemu dengan temannya dan guru-guru.

Satu hal yang menjadi pelajaran bagi Ibu Dian, adalah betapa pentingnya membangun suasana menyenangkan bagi anak-anak didik ketika mereka akan belajar. Khususnya bagi anak-anak kelas 1 yang masih dalam taraf transisi ke lingkungan sekolah. Selain menyediakan media pembelajaran yang mereka sukai, hal lain yang krusial adalah bagaimana guru-guru bisa menjadi sosok yang menyenangkan dan mengayomi mereka ketika berada di lingkungan sekolah.

Sering anak-anak itu tiba di sekolah dalam keadaan menangis. Entah mungkin karena tidak mau ditinggal sama orang tuanya di sekolah atau alasan lain. Nah, di saat itulah kita sebagai guru mesti hadir untuk memberikan mereka rasa nyaman. Kalau mereka sudah meresa nyaman dan senang melihat kita, khan akan senang juga mereka belajar. Jadi, ketertarikan dan ikatan bathin ini yang dulu kita bangun di anak-anak ini.”

Ramah dan mengayomi adalah gambaran tentang guru yang memang sudah lama tertinggal di kepala ibu Dian. Semasa sekolah, dia selalu punya guru yang menunjukkan sikap tersebut. Itu dijadikannya teladan dan memunculkan keinginan untuk menjadi guru. Cita-cita itu yang kemudian dia patenkan sejak sekolah, sehingga jenjang pendidikan yang dia tempuh selalu berarah ke profesi ini.