Ana Paji Jiara, S.Pd., (40) seorang guru di SD Inpres Wunga, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur NTT mempraktikan pembelajaran dengan menggunakan metode bahasa Ibu di kelasnya. Ana, yang lulus SMA pada tahun 2000 mulai mengajar di sekolah khususnya kelas awal pada tahun 2004.

Saya tamat dari SMA Kristen Payeti di Waingapu tahun 2000. Empat tahun tinggal di rumah bertani dan pelihara babi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Waktu itu hanya dua orang guru yang mengajar di sini. Lalu saya dan tiga teman dipanggil untuk bantu mengajar. Kami hanya diberi ‘uang sabun’ oleh kepala sekolah, Rp20-50 ribu setiap bulan,” kata Ana.

Waktu itu saya mau mengajar karena saya lihat hanya ada dua guru di sini. Saya kasihan juga lihat anak-anak. Mereka sudah datang jauh-jauh. Sementara saya hanya kerja bertani. Saya pikir, meskipun hanya lulus SMA pasti saya bisa juga mengajar asal mau belajar,” kata Ana tentang keputusannya menjadi guru. Ana sama sekali tak memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar mengajar.

Setelah 16 tahun, Ia menjadi guru honorer. Ana pun telah menyandang gelar Sarjana Pendidikan setelah menempuh kuliah jarak jauh pada Universitas Terbuka. Ia diwisuda pada 2016.

Rata-rata murid siswa di sekolah Ana, berdomisili di kampung-kampung sekitar sekolah. Antara lain dari kampung Walakari, Tanarara dan yang paling jauh adalah dari Desa Talicu, yang berjarak 5 km dari sekolah. Menurut Ana, siswa-siswi di sekolahnya memang lebih banyak memakai bahasa Kambera dalam berkomunikasi sehari-hari. “Boleh dikatakan sekitar 70 persen. Apalagi siswa kelas bawah. Sehingga mengajar memakai bahasa Ibu sudah mengena. Anak-anak jadi lebih mudah memahami pelajaran yang diajarkan,” ujarnya.

 

 

Guna mendukung pembelajaran dengan bahasa Ibu, kelas Ana didesain sedemikian rupa. Sekujur tembok kelas ditempeli beragam gambar dan abjad menjadi “zona membaca”. Kertas hvs bergambar ikan dan panci berisi nasi dipasang berdampingan dengan kertas manila berukuran lebar bertuliskan huruf “Mm” untuk mengeja kata: Mata, mama, makan, mawar, matahari, mobil dan sebagainya. Pada kertas yang lain, masih ditembok yang sama, terdapat gambar jari tangan untuk mengenal bilangan 1-10.

Strategi Ana dengan pembelajaran bahasa Ibu adalah dengan menggunakan gambar. Ana menempelkan gambar dari HVS di white board kemudian meminta siswa untuk menebak gambar tersebut. Gambar-gambar ini disiapkan sendiri oleh Ana sebagai bahan mengajar. Pada papan tulis, juga dicatat tema dan subtema, materi serta tujuan pembelajaran hari itu. Setelah siswa berhasil menjawab, Ana akan melanjutkan dengan mengeja huruf dalam Bahasa Kambera.

Dukungan INOVASI

Ana mengaku bahwa ia menjadi “guru yang sesungguhnya” setelah mendapatkan pendampingan dari INOVASI. Ia mendapatkan pendampingan yang cukup dalam dalam ilmu pedagogi dan menyampaikan materi bagi kelas bawah di sekolah dasar.

Ini semua berkat INOVASI yang ajari kami mengajar memakai bahasa daerah. Juga cara mengajar, mengenal huruf dan menggabung huruf. Sebelum INOVASI datang, kami hanya mengajar abjad ‘a-i-u-e-o’ setiap hari kepada siswa. Jadi anak-anak bosan dan lambat mengerti karena pakai bahasa Indonesia waktu mengajar,” kata dia.

Mengajar memakai bahasa ibu adalah salah satu terobosan INOVASI untuk sekolah-sekolah yang berada di pedalaman seperti Haharu di Kabupaten Sumba Timur. Sebab sebagian besar anak, terutama pada kelas bawah, memakai bahasa Kambera dalam berkomunikasi sehari-hari. Beruntung pula Ana berasal dari kawasan itu. Bukan guru dari luar daerah. Setiap hari ia memakai bahasa yang sama sebagai penutur asli. Dengan demikian kesulitan ini bisa tertanggulangi.

Kalau pakai bahasa sini (Kambera) anak-anak lebih berani menjawab. Faktor bahasa tidak lagi menjadi kendala,” ujar Ana.

 

 

Bahasa ibu ini digunakan untuk memahamkan konsep pembelajaran kepada siswa dan bertransisi ke bahasa Indonesia. Dengan begitu, saat di kelas tinggi, mereka bisa memahami berbagai pengetahuan yang tersedia dalam bahasa Indonesia.

INOVASI melanjutkan program pendidikan dasar dengan basis bahasa ibu di Kabupaten Sumba Timur semenjak diterapkan pada Fase I (2017-2019). Dalam kajian INOVASI, cara ini ternyata memberi hasil positif. Anak-anak menjadi lebih percaya diri dalam berkomunikasi dan mengemukakan pendapatnya dalam pembelajaran. Hasil belajar mereka pun meningkat.

Biasanya saya mengajar pakai bahasa sini dulu. Kemudian nanti saya campur dengan Bahasa Indonesia. Pengalaman selama ini memang anak-anak lebih bisa menjawab kalau (memakai) bahasa daerah,” jelas Ana lagi.

Sebelum mendapatkan pelatihan dan pendampingan program pembelajaran dengan pengantar bahasa ibu, mayoritas guru mitra di Kabupaten Sumba Timur mengaku ragu, bahkan khawatir jika menggunakan bahasa ibu dalam pembelajaran. Sebab penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran tidak termaktub dalam kurikulum manapun. Para guru khawatir akan mendapat teguran dari dinas pendidikan setempat. Penggunaan bahasa Indonesia memang wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional seperti telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Namun, dalam regulasi yang sama, bahasa ibu juga dinyatakan boleh digunakan khususnya pada kelas awal.

Oleh karena itu, menurut INOVASI, kolaborasi multi-pihak diperlukan untuk memperkuat praktik-praktik baik yang telah dilakukan dan menyebarkannya ke sekolah-sekolah dan daerah-daerah lain yang memiliki tantangan serupa.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikbudristek, Anindito Aditomo saat berkunjung ke Kabupaten Sumba Timur, 28 September 2021 lalu, menyatakan penggunaan transisi bahasa ibu dalam pembelajaran terutama di sekolah-sekolah yang mayoritas siswanya menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari seharusnya diterapkan sejak lama.

Kalau tidak (menggunakan bahasa ibu dalam pembelajaran), siswa dipaksa belajar dua hal sekaligus. Pertama belajar mengenal huruf latin dan membaca. Kedua, mempelajari bahasa yang asing (bahasa Indonesia). Kesulitannya jadi ganda tetapi hal ini bisa dengan mudah dipecahkan dengan menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar,” kata Anindito.