Program Sekolah Responsif Gender (SRG) merupakan program kerja sama antara INOVASI dan Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak (PSGPA) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) dalam rangka menguatkan pemahaman tentang kesetaraan gender pendidikan. Dalam upaya pembangunan, isu gender merupakan salah satu isu utama – khususnya dalam hal pembangunan sumber daya manusia. Untuk itu, melalui program dalam bentuk pelatihan dan pendampingan yang dilaksanakan untuk 10 sekolah dasar di Sidoarjo, Jawa Timur, upaya ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi para guru dan tenaga kependidikan dalam mengintegrasikan aspek kesetaraan gender di sekolah.

Sejak tahun 2022, program Sekolah Responsif Gender (SRG) dilaksanakan di Sidoarjo, Jawa Timur. Para peserta pelatihan sebanyak 48 orang terdiri dari kepala sekolah, guru, dan staf (38F, 10M) dari 10 sekolah di Sidoarjo. Sekolah-sekolah tersebut meliputi: SDN Larangan, SDN Tenggulunan, SDN Kedungkendo,  SDN Sepande, SDN Sumokali, SDN Sidodadi, SDN Durung Banjar, SDN Durung Bedug, SDN Jambangan, SD Muhammadiyah 1 Candi Labschool UMSIDA.

Berikut ini kisah inspiratif seorang kepala sekolah mitra program, yang sebelumnya merupakan seorang guru yang telah mengabdi selama 27 tahun.

Kepala Sekolah Wujudkan Sekolah yang Responsif Gender

Dra. Anis Mufidah, M. Pd (59) merupakan Kepala Sekolah SDN Tenggulunan, Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah mengimplementasikan prinsip-prinsip Sekolah Responsif Gender (SRG) di sekolahnya. Sebelum memulai karirnya sebagai kepala sekolah, Anis merupakan seorang guru yang telah mengabdi selama 27 tahun. Hingga kini, ada sebanyak 4 sekolah yang pernah ia pimpin.

Anis merupakan alumni SPGN 1 Sidoarjo yang lulus pada tahun 1982. Setahun berikutnya ia diangkat menjadi PNS – tepatnya pada 1 Maret 1983, dan menjadi guru di SDN Sugihwaras Candi Sidoarjo. Dua tahun berikutnya ia kuliah di IKIP PGRI Kediri dan lulus pada tahun 1990. Selama 27 tahun menjadi guru, ia mengampu kelas 5 & 6 di mana ia mengajar semua mata pelajaran di kelasnya.

“Salah satu pengalaman yang tak terlupakan selama saya menjadi guru adalah ketika saya mengenalkan anak-anak dengan lagu-lagu nasional. Tiap hari Sabtu saya selalu keliling kelas memberitahukan dan mengajarkan lagu nasional yang akan dinyanyikan pada hari Senin, hari upacara bendera. Lagu nasional yang saya ajarkan pun diteruskan oleh guru kelas di kelas masing-masing sehingga pada hari upacara bendera, guru dan siswa dapat menyanyikan lagu nasional tersebut. Saya tidak pernah lupa pengalaman ini, membantu anak-anak mengenal lagu-lagu nasional dan merasakan bahwa mereka adalah anak-anak Indonesia” – Dra. Anis Mufidah, M. Pd, Kepala Sekolah SDN Tenggulunan, Sidoarjo

SDN Tenggulunan berdiri pada tahun 1997, lokasinya berada di pusat Kabupaten Sidoarjo, dan berdekatan dengan pusat perbelanjaan tradisional. Mayoritas pedagang yang berjualan di sekitar pasar tradisional tersebut adalah Suku Madura, dan mayoritas siswa di sekolah tersebut merupakan anak-anak dari orangtua yang berdagang di pasar tradisional di sekitar sekolah. Ada sebanyak 467 siswa SDN Tenggulungan – 229 orang siswa perempuan, 238 orang siswa laki-laki, dengan jumlah tenaga pendidik sebanyak 21 orang guru – 19 orang guru perempuan dan 2 orang guru laki-laki.

Melalui program kerja sama INOVASI dan UMSIDA, para peserta yang terlibat memperoleh pembekalan tentang makna sekolah responsif gender agar dapat mengintegrasikannya dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Prinsip sekolah responsif gender dalam RKS akan meliputi managemen sekolah, sanitasi sekolah, kebijakan sekolah, dan anggaran sekolah yang akan dialokasikan untuk responsif gender. Sedangkan dalam RKS meliputi bagaimana isu-isu gender diintegrasikan dalam rancangan RPP, dan mempraktekkan responsif gender dalam pengajaran di kelas.

Menurut Anis, ia merasa beruntung dapat mengikuti pelatihan Sekolah Responsif Gender, pemahamannya pun semakin meningkat. “Sebenarnya sih, sekolah yang responsif gender telah dipraktekkan di sekolah yang saya pimpin. Misalnya pembagian tugas yang sama terhadap siswa perempuan dan laki-laki. SDN Tenggulunan pun telah memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, seperti jumlah toilet yang cukup untuk siswa dan guru, unit kesehatan sekolah, dan fasilitas lainnya. Hanya saja, memang belum terlalu diperhatikan fungsinya yang responsif gender. Demikian juga tentang pembelajaran di kelas yang diterapkan guru tanpa mempertimbangkan kesetaraan gender antara siswa perempuan dan laki-laki. Dokumen kurikulum, RPP, bahan ajar, media dan penilaian pembelajaran masih belum responsif secara gender,” jelas Anis.

Tim Anti Bullying di SDN Tenggulunan

Bagaimana mengelola sekolah agar dapat menjalankan prinsip sekolah responsif gender? Anis beserta semua tim pendidik di SDN Tenggulunan sangat berupaya untuk mewujudkan hal ini. Beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain: 1). Mengalokasikan anggaran yang responsif gender; 2). Menyusun RPP dan mengintegrasikan SRG dalam pengajaran di kelas; 3). Menetapkan beberapa Kebijakan SRG: kebijakan SRG, kebijakan pengelolaan SRG, kebijakan penilaian SRG, kebijakan penyempurnaan sarana prasarana sekolah, dan 4). Membentuk tim anti bulliying, dan Tim monev penilaian SRG.

Hal-hal yang masih menjadi tantangan yang dihadapi oleh Anis dan guru-guru di sekolahnya adalah ketidakdisplinan dan aksi bullying yang kerap terjadi di antara siswa, baik di kelas maupun di lingkungan sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Anis beserta guru-guru membentuk Tim Anti Bullying/Perundungan yang responsif gender. Tim tersebut terdiri dari kepala sekolah sebagai pembina, salah satu guru sebagai ketua, dan anggota tim yang terdiri dari guru-guru.

Bullying adalah penyalahgunaan kekuasaan yang terus-menerus dan disengaja dalam suatu hubungan melalui perilaku verbal, fisik dan/atau sosial berulang-ulang yang bertujuan untuk merusak fisik, sosial dan/atau psikologis sesorang. Hal ini dapat melibatkan individu atau kelompok yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, atau kekuasaan yang dirasakan, atas satu atau lebih orang yang merasa tidak mampu menghentikannya agar tidak terjadi. Bullying dapat terjadi secara langsung atau online, melalui berbagai platform dan perangkat digital dan dapat terlihat jelas (overt) atau tersembunyi (covert).  SDN Tenggulanan membentuk Tim Anti Bullying tersebut agar perundungan berbasis gender tidak terjadi di SDN Tenggulanan.

Foto: Rapat Tim Anti Bullying

Tim Anti Bullying dibentuk pada tanggal 29 Mei 2022 paska pelatihan yang diberikan oleh INOVASI dan UMSIDA. Sejak itu, Tim bekerja bersama secara efektif dalam menangani konflik atau pertengkaran di antara siswa. Tim mengadakan diskusi tentang kenakalan-kenakalan anak di sekolah tersebut. Pendekatan kepada anak-anak yang masih melakukan perundungan ke teman-temannya pun dilakukan oleh Tim, termasuk mendekati anak-anak yang kerap menggunakan kata-kata yang tidak sopan kepada teman-temannya. Terkadang Tim juga memanggil anak-anak tersebut ke ruangan tertentu untuk diajak berbicara. Cara lainnya termasuk seperti mengkomunikasikan isu pertengkaran di antara siswa kepada wali atau orang tua siswa melalui WA Group.

Anis menceritakan bahwa sebenarnya pertengkaran atau bullying di antara siswa masih merupakan bentuk nakalnya anak-anak. Terkadang olok-olok antara siswa seperti: “Kamu kurus”, “gemuk”, atau “Kamu anak bodoh, “Kamu anak nakal”. Namun yang perlu dipahami adalah kata olok-olokan seperti itu dapat memancing pertengkaran.

“Nah, hal seperti inilah yang kami antisipasi supaya sejak awal, anak-anak  mengetahui bahwa mengolok-olok temannya itu tidak baik. Ini juga sebagai bentuk pendekatan kepada anak-anak lainnya, agar mereka tidak ikut-ikutan mengolok-olok temannya,” kata Anis.

Hal yang menggembirakan adalah sejak Tim bekerja bersama komite sekolah serta melakukan pendekatan kepada anak-anak, SDN Tenggulunan sudah semakin nyaman dan jauh dari aksi bullying. Sungguh suatu hal yang positif yang dimulai oleh sang kepala sekolah!

[1] https://bullyingnoway.gov.au/understanding-bullying