Waktu menunjukkan pukul 06.25 pagi saat Bergita Pawe Dede meninggalkan rumahnya. Memakai seragam coklat PNS dan sepatu hitam bersol rata, ia berjalan kaki di tengah udara dingin menuju tempatnya bekerja di SD Inpres Wudu. Jarak yang ditempuhnya hanya 300 meter. Barangkali karena usianya telah 55 tahun, perempuan asal Desa Kelewae Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara tersebut sedikit terengah-engah ketika sampai ke sekolah tujuh menit kemudian.

SD Inpres Wudu terletak di tepi Jalan Trans Ende-Bajawa, tepatnya di Kelurahan Rega Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo. Bangunannya menghadap ke selatan, seakan berhadapan langsung dengan Gunung Berapi Ebulobo. Pepohonan rindang dan aneka bunga bersemi di halaman sekolah yang dibangun 1 Januari 1974 silam.

“Saya selalu datang lebih pagi. Selain mencontohkan sikap disiplin, sebagai Kepala Sekolah saya harus memastikan semua hal disiapkan dengan baik sebelum pelajaran dimulai,” kata ibu dari tiga orang anak tersebut.

Sekolah belum ramai ketika Bergita tiba. Di halaman, beberapa siswa kompak memberi salam. Bunyinya seperti berirama. “Selamat pagi Ibu!” yang dibalas Bergita dengan hangat.

Salah seorang siswi mendekati Bergita. Anak perempuan berkulit hitam manis dengan rambut dikepang tunggal. Ia meraih lengan Bergita lalu berbicara terbata. “Ibu, saya tidak bisa dengar lagi. Mungkin alat ini sudah rusak,” katanya sambil menyentuh alat bantu dengar yang terpasang di telinga kirinya.

Bergita memeriksa sebentar. “Mungkin baterainya habis. Nanti Ibu ganti yang baru.” Suaranya agak keras.

Siswi itu tersenyum lalu berlari menuju perpustakaan sekolah.

SD Inpres Wudu memiliki kelas yang mendukung pembelajaran literasi siswa. Semua ruangan tampak literat.  Dinding ditempeli materi pelajaran. Ada pojok baca serta hasil prakarya siswa seperti bunga dan lampu hias yang terbuat dari botol bekas. Perpustakaan dan ruang komputer tak kalah berdandan. Dindingnya dihiasi lukisan hewan dan tumbuhan.

Kelas satu memliki dinding kelas yang meriah, banyak kertas HVS bergambar ditempel berdekatan. Pada salah satu sudut tertulis “Tanpa membaca aku bisa apa?”. Sementara langit-langit kelas ramai oleh potongan kertas yang dijalin membentuk tirai.

Semua gambar merupakan objek yang akrab dengan dunia anak-anak. Gambar-gambar itu ditulisi keterangan dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Boawae. Misalnya di dekat jendela terdapat gambar buah bertuliskan Goe Awa atau jambu dalam bahasa Indonesia.

“Saya sudah menjadi guru selama 33 tahun. Satu hal yang saya pelajari adalah jika guru mengenal siswanya dengan baik, maka guru dapat menentukan strategi mengajar dan pendekatan yang tepat bagi setiap siswanya,” ujar Bergita.

Ketika kemudian dipercaya untuk menjadi Kepala SD Inpres Wudu pada Januari 2016, Bergita bertekad untuk mengatur sekolah yang dipimpinnya dengan baik. “Di sini saya memperhatikan hasil belajar para siswa setiap semester. Satu hal yang saya sadari adalah bahwa kemampuan literasi dan numerasi siswa cenderung tidak sesuai tingkatnya. Misalnya anak kelas IV yang seharusnya dapat membaca dengan baik, pada kenyataannya belum dapat membaca lancar. Hal ini membuat saya risau,” ungkapnya.

Kegelisahan tersebut membuat Bergita memutuskan untuk membuat Profil Belajar Siswa (PBS). “Saya ingin agar kami para guru mengenal siswa yang kami didik, mengetahui latar belakang keluarga, kemampuan berbahasa, kemampuan berbicara, kesehatan serta hal penting lainnya,” kisahnya.

Bergita bersama para guru kemudian melakukan pendataan dengan cara mewawancarai setiap siswa pada setiap awal tahun baru, dimulai pada 2019. Data yang diperoleh menjadi dasar pengelompokan siswa sesuai kemampuan. “Harapan kami, dengan pengelompokan siswa, materi pelajaran lebih tepat sasaran. Misalnya untuk kelas satu, siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan mengenal huruf dan angka sehingga pelajaran lebih efektif dan efisien,” terangnya.

Saat melakukan pendataan tersebut, Bergita menemukan banyak hal yang menjadi perhatiannya. Antara lain, terdapat beberapa orang anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan bantuan. Ada pula siswa yang ternyata mengidap penyakit berat. “Seperti nona yang tadi di depan, ternyata ada masalah pendengaran. Setelah didata, kami laporkan ke dinas sosial dan akhirnya anak tersebut dapat alat bantu dengar,” terangnya.

Hal lain yang ditemukannya adalah bahwa sebagian besar siswanya belum mampu berbahasa Indonesia saat masuk sekolah. Seperti hasil pemetaan profil siswa 2022, dari total 245 siswa, siswa berbahasa ibu bahasa daerah setempat berjumlah 200 orang, berbahasa ibu bahasa Indonesia 10 orang dan 35 siswa sisanya berbahasa ibu bahasa campuran. Untuk kelas satu, dari total 39 siswa, siswa berbahasa ibu bahasa Boawae berjumlah 21 orang, berbahasa ibu bahasa Indonesia 9 orang sementara 11 orang lainnya berbahasa campuran.

“Hampir semua siswa adalah penduduk asli sehingga rata-rata berbahasa ibu bahasa Boawae. Sedikit saja yang bisa berbahasa Indonesia. Jadi saat masuk kelas satu dan pelajaran diajarkan dalam bahasa Indonesia, siswa seakan belajar hal baru dalam bahasa asing. Tentu kesulitan menjadi berlipat ganda. Tidak heran jika penguasaan literasi mereka menjadi terhambat,” Bergita menambahkan.

Data tersebut membuat Bergita memikirkan kemungkinan memberikan pelajaran dalam bahasa ibu untuk siswa kelas awal. Namun, hal itu belum berani direalisasikannya. “Saya tidak ingin gegabah dengan langsung meminta guru kelas awal mengajar dalam bahasa daerah. Saya membutuhkan strategi, cara dan materi yang tepat sehingga pemakaian bahasa ibu menjadi efektif, bukan malah menimbulkan kesulitan baru,” tutur perempuan yang gemar membaca, memasak dan berolahraga tersebut.

Transformasi Pembelajaran

Pada 2020, Bergita mengikuti Diklat Penguatan Kepala Sekolah yang diadakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nagekeo. Pelatihan itu menguatkan tekad Bergita untuk terus berinovasi demi meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga yang dipimpinnya. “Tugas kepala sekolah tidak selesai pada soal administrasi atau manajemen keuangan, tetapi juga soal strategi pembelajaran di sekolah,” kata-katanya tegas.

Setelah Bergita mengikuti pelatihan tersebut, salah seorang gurunya lolos seleksi menjadi Fasilitator Daerah (Fasda) Program Literasi Dasar yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nagekeo. “Seorang guru kami menjadi Fasda Literasi Dasar dan dampaknya sangat luar biasa untuk sekolah. Ia membagikan banyak sekali pengetahuan baru kepada guru lain,” lanjutnya.

Pendampingan Fasda tersebut membuka kemungkinan untuk menerapkan strategi mengajar baru yang sama sekali berbeda dengan pola sebelumnya. “Ternyata untuk mengajarkan siswa mengenal huruf tidak melulu harus dimulai dengan a i u e o atau mengeja suku kata. Untuk mengajarkan anak berhitung, guru dapat menggunakan media paling sederhana di sekitar kita sebagai alat peraga. Instrumen-instrumen yang dikembangkan INOVASI membuat pelajaran dapat disampaikan melalui permainan dan lagu. Ilmu yang dibagikan memotivasi guru lain untuk terus berkreasi sementara siswa lebih semangat dan menjadi suka belajar,” tambahnya.

Terobosan lain yang dilakukan adalah pemetaan Profil Belajar Siswa dengan instrumen dan variabel yang lebih lengkap. Ada pula pembelajaran menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pada kelas awal, untuk kemudian bertransisi ke bahasa Indonesia. “Hal ini sangat membahagiakan saya. Profil Belajar Siswa kami sempurnakan. Kami membuat pengelompokan baru untuk mendapatkan data yang lebih lengkap,” tuturnya.

SD Inpres Wudu adalah salah satu sekolah mitra INOVASI untuk Program Literasi Dasar Berbahasa Ibu yang diimplementasikan oleh Yayasan Sulinama. “Pelajaran dalam bahasa ibu kami terapkan pada kelas awal yaitu kelas satu, dua, dan tiga, sesuai dengan materi yang kami peroleh dari pelatihan bersama Yayasan Sulinama. Selama 30 menit pertama, materi diajarkan dalam bahasa daerah, lalu kemudian bahasa campuran dan akhirnya dalam bahasa Indonesia. Materi disampaikan melalui gambar, permainan dan lagu-lagu,” paparnya. Program ini dimulai sejak 2021.

Pembelajaran dalam bahasa ibu di SDI Wudu terus berlanjut hingga kini. Program berfokus pada pembelajaran multibahasa berbasis bahasa ibu untuk meningkatkan kampuan belajar siswa.

“Klop sudah! Pokoknya kegiatan belajar mengajar jadi lebih menyenangkan,” kata Bergita.

Hasilnya, ungkap Bergita, sungguh menggembirakan. “Penguasaan literasi dan numerasi siswa kelas awal meningkat dengan sangat pesat. Saat ini, dari 39 siswa kelas satu, 35 orang sudah dapat membaca lancar. Hanya 4 siswa saja yang baru dapat membaca kata. Hal ini sangat berbeda dengan sebelum kami menerapkan pelajaran berbasis bahasa ibu. Saat itu, bahkan siswa kelas empat ada yang belum dapat membaca lancar. Data kami menunjukan penguasaan literasi dan numerasi siswa kelas awal saat ini meningkat hingga 80 persen.” Wajahnya semringah.

Saat pandemi Covid-19 melanda dan siswa-siswi harus belajar di rumah, terbukti bahwa pengetahuan yang telah dikuasai membuat dampak kehilangan pembelajaran bisa diminimalkan. “Memang banyak kesulitan terjadi sejak kegiatan belajar dari rumah tetapi semuanya terkejar saat siswa kembali ke sekolah. Selain penggunaan bahasa ibu, instrumen-instrumen lainnya yang disediakan sangat membantu kami,” katanya.

Saat ini, pemetaan Profil Belajar Siswa yang dilakukan oleh Bergita di SD Inpres Wudu akan diadaptasi oleh semua sekolah di Kabupaten Nagekeo. Bupati Nagekeo dr. Johanes Don Bosco Do, M.Kes. pada 4 April 2022 telah mengeluarkan Instruksi Bupati Nagekeo Nomor 400/KESRA-NGK/89/04/2022 tentang Pemulihan Pembelajaran melalui Pemetaan, Perbaikan dan Evaluasi Kemampuan Literasi dan Numerasi Dasar Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar.

“Rasanya bahagia sekali. Hal kecil yang kami lakukan ternyata menghasilkan hal baik. Ini adalah prestasi sekolah, sebab tanpa dukungan guru, pegawai, komite, orang tua dan siswa-siswi, tidak mungkin hal ini terjadi. Saya yakin pemetaan Profil Belajar Siswa yang akan diterapkan di sekolah lain juga akan berhasil,” tutupnya.

Dari depan sekolah, tampak Gunung Ebulobo tinggi menjulang. Siswa kelas satu yang selesai belajar berlarian mereka menuju gerbang. Canda dan pekik khas anak-anak riuh terdengar. Lalu sebuah lagu mereka nyanyikan. Iramanya berasal dari lagu serial kartun populer, hanya saja syairnya dalam bahasa Boawae.

“A Meze A Coo,

 Ae Ae Ae.

Ae pu’u wunga, ne’e huruf A

A A A A A, belajar huruf A!”

Kurang lebih artinya:

A besar, A kecil. Air air air. (Kata) Air diawali dengan huruf A, A A A A A, belajar huruf A!.