Pendidikan menjadi kunci untuk menyiapkan generasi yang mampu menjawab tantangan kehidupan abad ke-21. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengintegrasikan kemampuan 4C sebagai tujuan akhir pembelajaran Kurikulum 2013. Namun apakah keterampilan 4C itu adalah hal baru? Mengapa baru mendapatkan perhatian yang besar belakangan ini?
Menurut Johnny Tjia, Direktur Yayasan Sulinama, keterampilan 4C tidak dapat dicapai tanpa adanya kemampuan berpikir tingkat tinggi atau HOTS (Higher Order Thinking Skills). Bahkan menurutnya, keterampilan 4C adalah bagian dari HOTS itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa HOTS sudah diperkenalkan sejak 1956 melalui Taksonomi Bloom. Sejak saat itu, pembelajaran yang mengedepankan HOTS terus dipromosikan hingga diadaptasi ke dalam Kurikulum 2013 di Indonesia.
“Keterampilan 4C itu hanya bisa dicapai dengan HOTS. Dengan kata lain, 4C itu adalah produk dari HOTS. Bahkan 4C sendiri bisa dikatakan bagian dari HOTS itu sendiri. Tentu ini bukanlah hal baru karena sudah diperkenalkan sejak 1956 oleh Taksonomi Bloom. Hanya saja, di Indonesia baru mulai diterapkan sejak adanya Kurikulum 2013,” kata Johnny.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa mengemukanya isu terkait keterampilan 4C belakangan ini disebabkan relevansinya yang semakin tinggi di era ini di mana arus komunikasi dan informasi berkembang sangat pesat dan memengaruhi semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, peserta didik dituntut untuk bisa beradaptasi dengan zaman sehingga memiliki daya saing yang baik.
Paparan ini disampaikan oleh Johnny pada kegiatan pengenalan Pembelajaran Multi Bahasa Berbasis Bahasa Ibu (PMBBI) kepada lebih dari 70 guru sekolah dasar di Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pertemuan perdana berlangsung secara daring pada 17 September 2020 dan hingga saat ini sudah dilakukan sebanyak dua kali. Kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun kesadaran para guru dan pemangku kepentingan di Kabupaten Nagekeo terkait isu bahasa ibu dan mengenalkan metode pembelajaran yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa transisi menuju bahasa Indonesia.
Kegiatan ini adalah wujud komitmen Yayasan Sulinama untuk mendukung peningkatan kemampuan literasi khususnya di daerah yang sebagian besar peserta didik menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari sehingga kesulitan memahami pembelajaran dalam bahasa Indonesia.
Melalui kemitraan dengan INOVASI Fase I, Yayasan Sulinama telah menerapkan program yang sama di Kabupaten Sumba Timur. Melihat dampak yang dihasilkan, INOVASI berupaya untuk menyebarluaskan program tersebut ke daerah-daerah lain yang membutuhkan. Oleh karena itu, INOVASI menjembatani terbentuknya kemitraan antara Yayasan Sulinama dengan Pemerintah Kabupaten Nagekeo untuk penerapan program di kabupaten tersebut.
Pemerintah setempat telah menyetujui penerapan program yang akan dimulai pada awal 2021. Saat ini, penandatanganan Kesepakatan Bersama (MoU) masih sedang diproses. Kedua pihak sepakat untuk menerapkan skema pembiayaan bersama (co-funding) dengan periode pelaksanaan selama dua tahun (2021-2022).
Sambil menunggu penerapan program secara penuh, Yayasan Sulinama mengawalinya dengan serial pertemuan pengantar yang dilakukan secara pro bono. Pada pertemuan pembuka, turut hadir Penasihat Sistem dan Kebijakan INOVASI, Basilius Bengoteku dan Manajer Provinsi INOVASI untuk NTT, Hironimus Sugi.
“Saya senang melihat guru-guru diperkaya melalui penggunaan bahasa ibu untuk membuat anak-anak mengerti literasi. Literasi sangat penting. Tanpanya, anak-anak tidak bisa maju dan berkontribusi pada masyarakat dan negara,” kata Basilius.
Sementara itu, Hironimus Sugi mengungkap hasil survei kecil yang telah dilakukan di salah satu sekolah yang terletak di jalan nasional di Kabupaten Nagekeo. “Ternyata 58% siswanya itu menggunakan bahasa ibu untuk komunikasi sehari-hari. Apa kabar dengan sekolah yang jauh dari pusat kota?” katanya.
Johnny Tjia menyambut baik kemitraan yang terbangun dengan Kabupaten Nagekeo dan mengapresiasi dukungan INOVASI. “Terima kasih kepada INOVASI yang telah memfasilitasi kemitraan ini. Kami sangat merasa terhormat atas kesediaan kemetriaan ini, terutama dengan Bapak dan Ibu Guru dan pemerintah daerah Negekeo. Mari sama-sama membangun Nagekeo,” ajaknya.
Meski dilakukan secara daring, guru-guru tetap berkumpul di beberapa titik karena keterbatasan akses jaringan dan gawai. Mereka difasilitasi oleh Dinas Pendidikan setempat. Peserta yang hadir merupakan anggota dari Forum Guru Belajar di Nagekeo.
Pada pertemuan tersebut, Johnny menekankan pentingnya mengenalkan HOTS kepada siswa sejak dini. “Seorang anak mencapai 50% tingkat kecerdasannya pada usia delapan tahun, bertambah 20% hingga usia 18 tahun. Jika, pendidikan yang mereka terima tidak maksimal, kita akan kehilangan potensi kecerdasan mereka,” terangnya.
Ia juga menekankan bahwa gebrakan “Merdeka Belajar” yang diusung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2019 lalu tidak boleh diterjemahkan berlaku untuk bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar saja tapi juga untuk bahasa ibu.
“Bagaimana bisa merdeka belajar jika tidak memahami apa yang disampaikan guru (karena menggunakan bahasa Indonesia)? Penelitian dari UNESCO menyebutkan bahwa anak-anak belajar lebih baik dengan bahasa ibu terlebih dahulu.
Hak linguistik adalah hak asasi manusia. Oleh karena itu, anak-anak yang menggunakan bahasa Ibu dalam kesehariannya sebaiknya tidak dipaksa untuk menerima pembelajaran dalam bahasa Indonesia tapi menggunakan bahasa Ibu sebagai jembatan untuk mengantar mereka mahir berbahasa Indonesia agar dapat memahami permasalahan yang lebih kompleks,” pungkas Johnny.