Pasalnya, mayoritas penduduk di Desa Mbatapuhu hanya bisa menggunakan bahasa daerah setempat dalam berkomunikasi sehari-hari – termasuk siswa-siswa SD Masehi Mbatapuhu. Sementara itu, guru-guru di sekolah mengupayakan penggunaan bahasa Indonesia selama pembelajaran dengan harapan para siswa bisa berbahasa Indonesia.

Mariana Dembu Tamar, Kepala Sekolah SD Masehi Mbatapuhu, mengatakan, “Kadang-kadang, guru juga mencampuradukkan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa setempat.” Guru terlebih dahulu mengucapkan atau membaca kalimat dalam bahasa Indonesia kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa setempat. Alih-alih bisa berbahasa Indonesia, siswa-siswa malah kebingungan dan kesulitan memahami pelajaran.

Situasi tersebut menyurutkan kepercayaan diri para siswa untuk menyampaikan gagasan mereka maupun sekedar bertanya selama pembelajaran. Selama pembelajaran, guru juga hanya bergantung pada buku teks. Selain itu, saat mengajar siswa membaca, guru memperkenalkan semua huruf dari A-Z, begitu pun dengan suku kata dan kata – tidak ada penjenjangan.

SD Masehi Mbatapuhu merupakan salah satu sekolah mitra INOVASI untuk program Pembelajaran Multibahasa Berbasis Bahasa Ibu (PMBBI) yang diimplementasikan oleh Yayasan Sulinama. Melalui program ini, Sulinama membantu mengembangkan media pembelajaran seperti Big Book dan meningkatkan kapasitas guru dalam penggunaan media tersebut khususnya dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa transisi ke bahasa Indonesia.

Big Book tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa setempat untuk membantu siswa memahami pembelajaran. Sulinama mengembangkan ceritanya sementara pihak sekolah yaitu para guru kepala sekolah membantu menerjemahkannya ke dalam bahasa setempat. Ada juga media lain seperti kartu gambar dan plastisin yang digunakan dalam permainan untuk mengenal lambang setiap huruf.

Sulinama juga membantu mengadaptasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dari Kurikulum 2013 (K13) agar sesuai dengan konteks lokal. Dalam muatan pelajaran Seni Budaya misalnya, siswa diajak untuk berkreasi dengan barang atau benda di sekitar mereka seperti daun, kayu, dan tempurung kelapa untuk membuat perabot dapur seperti Anambola (wadah buah atau makanan lainnya) dan cedok. Dalam pembelajaran, siswa tidak hanya diajak untuk menghasilkan karya tapi juga mengenal lingkungan sekitar seperti manfaat pohon dan bagian-bagian pohon.

Penyampaian pembelajaran tidak lagi dilakukan dengan cara menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah. Namun, guru akan menggunakan 35 menit pertama untuk memberikan pengantar tentang satu materi yang dibahas dalam bahasa daerah. Selanjutnya, guru akan menggunakan bahasa Indonesia untuk membahas materinya. Cara seperti ini perlahan menumbuhkan interaksi dalam kelas dan membuat siswa lebih mudah memahami konsep pembelajaran.

Guru kelas 2, Ahad May Nimba mengatakan, “Saya bisa melihat kepercayaan diri untuk menceritakan kembali apa yang mereka baca semakin berkembang. Begitupun saat diminta mendeskripsikan gambar pada kartu gambar.”

Sementara itu, menurut pengakuan Mariana, pada awal 2020 lalu, semua kelas 3 sudah bisa membaca. Hanya ada dua siswa yang belum lancar membaca di kelas 2 sementara di kelas 1, sudah ada yang bisa membaca lancar.

Hal ini dicapai setelah para guru menerapkan penjenjangan dalam pengenalan huruf dengan buku Ramah Cerna Kata (RCK). Pengenalan huruf tersebut tidak dilakukan hanya dengan menghafal huruf-hurufnya, melainkan menggunakannya dalam cerita. Misalnya untuk tahap pertama, terdapat lima huruf yaitu A, M, N, I, dan T, maka cerita dalam buku tersebut hanya menggunakan kata-kata dengan kelima huruf tersebut. Setiap jenjang terdapat beberapa judul untuk memastikan variasi cerita dan agar siswa tidak mudah bosan.