Di SD Negeri Wee Pabowi, salah satu sekolah di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, para guru terutama yang mengajar di kelas awal cukup kesulitan mendapatkan perhatian siswa selama pembelajaran berlangsung. Begitu pun dengan upaya peningkatan minat belajar siswa. Hal ini tentu berdampak pada rendahnya kemampuan literasi siswa.

Media pembelajaran yang terbatas dan tidak pernah diperbaharui serta metode ceramah yang selama ini menjadi andalan guru sebagai metode pembelajaran ditengarai menjadi musabab dari permasalahan ini. Menurut penuturan Petrus P. B. Wali, Fasilitator Daerah (Fasda) yang mendampingi sekolah ini, media pembelajaran yang selama ini digunakan hanya buku paket atau buku Kurikulum 13 (K13).

“Buku referensi untuk pembelajaran hanya dari cetakan pabrik (buku K13) yang dipakai dari tahun ke tahun. Belum ada alat bantu belajar lainnya. Guru ceramah saja sehingga tidak ada umpan balik dari siswa. Jadi, guru tidak tahu apakah mereka sudah paham atau tidak,” ungkap Petrus.

Dukungan kepala sekolah juga dirasa kurang. Administrasi sekolah tidak berjalan dengan baik yang berujung pada tidak cairnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Ini juga tentu, kata Petrus, menjadi alasan mengapa guru tidak memiliki alat bantu pembelajaran tambahan.

Mendorong Perubahan dalam Praktik Belajar Mengajar

Namun situasi ini perlahan-lahan berubah saat Petrus mulai melakukan pendampingan di SD Negeri Wee Pabowi. Ia mendorong guru-guru agar memanfaatkan apa saja yang tersedia untuk mengembangkan media pembelajaran. Pada modul pelatihan Big Book, Petrus bersama guru-guru yang didampingi membuat buku tersebut dengan menggunakan kertas HVS.

“Pertama, kami beri judulnya misalnya, Ayah Pergi ke Kebun. Dari judul tersebut kami kembangkan lagi dengan bertanya misalnya, ‘Apa yang dilakukan saat pergi ke kebun?’ Jawaban pertanyaan tersebut kemudian menjadi kalimat pada halaman selanjutnya. Begitu seterusnya hingga mencapai sedikitnya delapan halaman. Setelah itu, kalimat-kalimat yang sudah disusun disalin ke kertas karton. Guru-guru kemudian menggambarinya dengan gambar yang menarik.

Guru-guru menggunakan Big Book yang dibuat dengan membaca bersama. Ada juga yang menggunakannya dengan membaca pemodelan yaitu guru membaca dan siswa mengikuti. Gambar yang menyertai tulisan membuat siswa lebih mudah mengerti apa yang mereka baca,” terang Petrus.

Berkat pelatihan dan pendampingan yang dilakukan Petrus bersama INOVASI, guru-guru kini bisa membuat Big Book dan mengetahui fungsi dan cara menggunakannya. Mereka juga memahami bahwa media pembelajaran yang menarik dapat menarik minat baca anak dan meningkatkan kemampuan mereka. “Guru-guru jadi lebih kreatif, membuat Big Book sesuai konteks anak-anak Sumba. Gambar-gambarnya membuat anak cepat membaca tulisan,” imbuh Petrus.

Guru-guru kini tidak melulu ceramah. Metode pengajarannya lebih interaktif. Siswa dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga guru bisa mengetahui apakah siswa sudah paham atau belum.

Kepemimpinan sekolah yang kini berada di kepala sekolah yang baru juga membawa angin segar bagi pengembangan kelas literat di SD Negeri Wee Paboi. Dana BOS sudah bisa cair secara rutin, sekali dalam tiga bulan sehingga guru-guru bisa memanfaatkannya untuk terus mengembangkan media pembelajaran lainnya. Sementara Petrus yang sebelumnya mengajar di SD Masehi Tana Bara, kini menjadi kepala sekolah di SD Satap Kamberalaja. Ia pun bertekad untuk mengaplikasikan apa yang selama ini ia dapatkan bersama INOVASI di tempat pengabdiannya saat ini.