Pada bulan September 2018, INOVASI memulai 27 program rintisan dalam kemitraan dengan 18 organisasi mitra. Kemitraan ini adalah bagian penting dari pendekatan INOVASI untuk memperluas dan memperkuat keterlibatan dengan sektor pendidikan non-pemerintah Indonesia. Salah satu organisasi mitra ini adalah Litara – OPOB, yang berupaya memperkuat kemampuan membaca dan literasi kelas awal di Malinau, sebuah kabupaten mitra INOVASI di Kalimantan Utara. Bekerja dengan sekolah-sekolah dan masyarakat di daerah-daerah terpencil di Malinau, program Litara – OPOB berfokus pada peningkatan akses masyarakat ke buku-buku berkualitas dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam budaya membaca Malinau. Dalam cerita ini, Fadlansyah, Fasilitator Lapangan, Litara – OPOB akan bercerita lebih banyak tentang program ini.
Ketika Anda mengunjungi Desa Kaliamok, jelas terlihat bahwa banyak anak usia sekolah dasar mengalami kesulitan membaca. Biasanya masalah itu dibiarkan menjadi urusan sekolah saja. Tetapi sekarang masyarakat sudah ikut mencari jalan keluarnya. Salah satunya dengan mendirikan TBM (Taman Bacaan Masyarakat).
Saya datang ke Desa Kaliamok, yang terletak di Kabupaten Malinau, pada tanggal 25 September 2018. Kabupaten Malinau merupakan daerah ujung utara Indonesia dan berbatasan langsung dengan Sabah, Malaysia. Berada di kawasan perbatasan, kabupaten ini mengalami permasalahan pendidikan yang cukup mendasar. Salah satunya, tingginya jumlah siswa SD (bahkan SMP) yang belum terampil membaca. Di Desa Kaliamok, permasalahan ini sepertinya berkaitan erat dengan profil sosial ekonomi desa ini. Masyarakat desa bekerja sebagai petani. Dengan kesibukan mereka di ladang dan latar belakang pendidikan yang rendah, mereka cenderung tidak memiliki waktu untuk memperhatkan pendidikan anak-anaknya.
Hal ini mengusik pemikiran saya. Sangat memprihatinkan apabila orang tua tidak menyadari pentingnya pendidikan terhadap masa depan anak-anak mereka. Saya menginginkan agar anak-anak Desa Kaliamok mengalami peningkatan taraf hidup dan dipersiapkan untuk persaingan abad ke-21.
Saya bergabung dengan Litara-OPOB pada tahun itu. Tanggung jawab saya sebagai fasilitator lapangan adalah membantu desa untuk mengembangkan budaya baca. Bersama-sama masyarakat desa, saya dan 3 orang fasilitator lapangan yang lain ingin menumbuhkan budaya membaca melalui kegiatan-kegiatan yang sangat menyenangkan bagi anak-anak.
Pertama sekali datang ke Desa Kaliamok, saya langsung menemui kepala desa. Kepada kepala desa, saya meminta izin bekerja sekaligus minta dukungan. Kami ingin melibatkan sebanyak mungkin warga desa. Kami menganggap kunjungan ini penting karena kepala desa adalah yang paling mengetahui kondisi warga di Desa Kaliamok. Kepala desa berpesan bahwa mengubah pola pikir atau kebiasaan warga Desa Kaliamok membutuhkan proses yang sangat panjang. Kepala desa juga berpesan kepada saya untuk tetap optimis dan beliau sangat mendukung program penumbuhan minat baca seperti ini.
Atas saran kepala desa, saya bertemu dengan Olipe, Paulina dan Natanel. Mereka adalah warga desa Kaliamok yang tertarik dengan kegiatan literasi. Kepada mereka, saya menyampaikan detail tujuan program Litara-OPOB. Bak gayung bersambut, dengan antusias mereka menyatakan ingin bergabung!
Olipe mengatakan bahwa program literasi seperti inilah yang lama mereka tunggu. Selama ini anak-anak desa hanya menghabiskan waktu bermain-main, tidak jelas melakukan apa. Dengan adanya TBM, anak-anak bisa memanfaatkan waktu mereka dengan membaca buku lebih banyak. Bahkan anak yang lamban membaca bisa mendapakan layanan di TBM.
Bersama tiga pegiat Kaliamok tersebut, kami mulai menjalankan rencana kami untuk mendirikan TBM. TBM yang kami buat masih bersifat semipermanen karena masih menumpang di gedung PKK desa. Awalnya kami berlatih bersama tentang cara-cara membaca yang menyenangkan, antara lain memilih buku yang ramah anak untuk siswa SD kelas awal dan cara membacakan buku. Pelatihan ini memberikan kami pengetahuan tentang literasi, khususnya kegiatan membaca yang menyenangkan.
Setelah pelatihan, kami mulai memberanikan diri. Kami memulai persiapan untuk membuka TBM dengan buku seadanya.
Sambil menunggu buku-buku dikirim oleh kantor pusat Litara di Bandung, kami mengembangkan kegiatan permainan yang membuat anak tertarik datang ke TBM. Hingga, saat yang kami tunggu pun tiba. Enam puluh eksemplar buku hibah dari kantor Litara kami terima. Buku ini menjadi modal pegiat mengembangkan TBM yang diberi nama Ruma Mileh, dalam Bahasa Dayak artinya Rumah Pintar.
Memasuki 2019, pengunjung Ruma Mileh terus bertambah. Anak-anak datang membaca buku atau setidaknya mendengarkan temannya membacakan cerita. Sedikitnya 60 anak berkunjung setiap kali TBM dibuka. Mereka bisa menghabiskan tiga jam di sana. Anak-anak senang menghabiskan waktunya untuk membaca buku, bermain-main dan tentu saja bersenang-senang di TBM Ruma Mileh.
Seiring berjalannya waktu, anak-anak muda di Desa Kaliamok, khususnya yang baru lulus kuliah, tergerak hatinya untuk ikut bergabung menyemarakkan aktivitas di TBM. Mereka adalah Rina dan Fitri.
Rina dan Fitri mengatakan bahwa mereka terpanggil untuk ikut bergabung karena ingin ikut membantu mengajar anak-anak di desa mereka. Dengan demikian, bertambahlah pegiat di TBM Ruma Mileh. Saya senang dengan bertambahnya pegiat-pegiat yang semakin meramaikan TBM.
Kehadiran anak-anak di TBM mendukung SD yang ada di sekitarnya. Dulu anak-anak biasanya pulang ke rumah atau bermain entah ke mana. Kini mereka dianjurkan guru untuk berkunjung ke TBM Ruma Mileh.
Para pegiat TBM pun senang melihat respon anak-anak. Anak-anak Kaliamok kini punya kegiatan yang lebih produktif. Mereka pun membaca buku lebih banyak.
Selain membaca buku, empat pegiat juga melayani anak yang lamban membaca. Caranya, anak-anak didampingi membaca buku. Para pegiat menunjukkan teks pada buku sambil membimbing anak-anak mengeja. Agar anak-anak tidak malu dengan adik kelasnya, maka layanan diberikan berdasarkan tingkatan kelas. Setiap tingkatan kelas bisa diikuti 15 anak.
Seiring perkembangan ini, para orang tua pun semakin menunjukkan minatnya. Orang tua merasakan pengaruh positif keberadaan TBM di desa mereka. Selain itu, mereka melihat bahwa anak-anak mereka dapat terlibat dalam kegiatan yang bermakna sepulang sekolah, yaitu membaca.
TBM Ruma Mileh terus berusaha melayani anak-anak desa. Semakin anak senang membaca, maka semakin banyak buku yang dibutuhkan. Para pegiat TBM menyadari bahwa 60 eksemplar buku yang ada tidak cukup. Ini adalah tantangan yang harus dicarikan jalan keluarnya. Saat ini kami sedang mencarikan solusi melalui anggaran dana desa. Agar kami selalu bersemangat untuk melakukan aktivitas di TBM dan bisa melihat anak-anak bahagia dengan cara yang sederhana. Semoga rencana kami bisa jadi kenyataan.