Menyadari hal itu, melalui guru-guru, Senni terus mendorong siswanya untuk memanfaatkan perpustakaan untuk menumbuhkan minat baca mereka. Namun hal itu tak kunjung berhasil. Pasalnya, koleksi buku yang ada sebagian besar adalah buku-buku pelajaran. Sementara buku-buku lainnya tidak sesuai untuk siswa sekolah dasar, misalnya buku tentang cara beternak ikan lele.

Hal ini dikonfirmasi oleh Semuel Olla, pustakawan yang sudah bertugas di SD Inpres Binawatu sejak 2014. “Ada yang datang (ke perpustakaan) tapi kebanyakan hanya mengambil buku, lihat sebentar lalu kembalikan ke lemari,” kata Semuel. Menurutnya, penataan ruangan perpustakaan juga turut berkontribusi pada rendahnya minat siswa ke perpustakaan. “Dindingnya berwarna putih polos dan tidak ada gambar atau lukisan di dinding. Tidak ada rak buku. Siswa kadang tidak mengembalikan buku ke lemari. Jadi, bukunya berhamburan di lantai,” lanjut Semuel.

Meski memiliki latar belakang pendidikan bidang perpustakaan, Semuel mengaku sehari-hari hanya melakukan rutinitas seperti merapikan buku, membuat katalog buku dan menerima kunjungan dari siswa. Sekolah menerapkan program literasi 15 menit yang dilakukan sebelum KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) berlangsung. Siswa dapat mengunjungi perpustakaan dan membaca di mana saja tanpa pendampingan dari guru. Praktik ini pun tidak membawa perubahan signifikan pada minat baca siswa.

Setelah mendapatkan pendampingan dalam program Perpustakaan Ramah Anak, SD Inpres Binawatu menggunakan ruang perpustakaan yang berbeda untuk buku-buku pelajaran dan buku-buku cerita. Buku-buku cerita ditempatkan di perpustakaan yang dikembangkan bersama TBP (Taman Bacaan Pelangi). Setelah proses renovasi dilakukan, TBP memberikan sekitar 1.500 eksemplar buku dengan berbagai judul dan jenjang.

Selanjutnya, pustakawan, guru-guru, dan kepala sekolah bahkan penjaga sekolah mengikuti pelatihan tentang pengelolaan perpustakaan, termasuk register buku, penjenjangan buku, penataan ruangan, dan cara melakukan kegiatan membaca yang terdiri atas membaca lantang, membaca bersama, membaca mandiri dan membaca berpasangan.

Tampilan fisik perpustakaan yang menarik dan pengelolaan perpustakaan yang ditingkatkan membuat siswa-siswa lebih sering ke perpustakaan di luar jam kunjung wajib yang telah ditentukan. Mereka juga betah membaca di dalam perpustakaan. Banyak yang bahkan menghabiskan waktu istirahat mereka membaca di perpustakaan. Menurut Semuel, orang tua siswa juga menyampaikan bahwa anaknya jadi lebih sering membaca di rumah dengan buku yang dipinjam dari perpustakaan.

“Anak-anak jadi lebih sering membaca. Karena ada buku yang dipinjam dari perpustakaan,” kata Semuel menirukan ungkapan salah satu orang tua.

Masih perlu ditingkatkan

Meski anak-anak sudah menunjukkan minat baca yang tinggi namun pendampingan yang dilakukan guru belum maksimal. Pasalnya, menurut Semuel, masih ada guru yang mangkir dari tugasnya, mendampingi siswanya pada jam kunjung wajib. Hal ini juga disampaikan oleh Senni. “Saat pendampingan, guru-guru sudah melalukannya sesuai dengan apa yang kami dapatkan selama pelatihan. Tapi tinngkat partisipasi mereka masih kurang. Kadang mereka tidak hadir (saat jam kunjung wajib),” kata Senni.

Untuk memastikan hal ini tidak terjadi lagi, Senni sebagai kepala sekolah mengambil sejumlah langkah. Selain meminta laporan tertulis dari guru-guru dan pustakawan, ia juga datang ke perpustakaan saat jadwal jam kunjung untuk melihat apakah guru melakukan pendampingan atau tidak. Saat dirinya tidak berada di sekolah, Senni meminta wakil kepala sekolah untuk meninjau langsung ke perpustakaan.

Senni mengatakan tidak segan mengurangi nilai kinerja guru jika terbukti tidak melakukan pendampingan siswa. “Saya ingin membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab mereka terhadap peningkatan kemampuan membaca siswa,” kata Senni.

Sementara untuk menjaga agar perpustakaan agar tetap ramah anak, Senni akan mengalokasikan dana BOS untuk melakukan penyegaran pada tampilan fisik dan buku yang dipajang di rak. Penyegaran ini akan dilakukan sekali dalam tiga bulan. Dana BOS juga akan digunakan untuk membiayai KKG (Kelompok Kerja Guru) mini untuk peningkatan kapasitas guru dan pustakawan secara berkelanjutan serta refleksi kegiatan yang telah dilakukan.

Dalam pendampingan, Senni menekankan penggunaan tutur kata yang baik saat guru dan pustakawan berinteraksi dengan siswa. “Kalau siswa belum mengerti bagaimana melakukan peminjaman, bagaimana menjaga buku, jangan dibentak! Cukup diberitahu saja,” ujar Senni.