Banyak siswa kelas 1 SD di Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara, memulai sekolah formal tanpa memiliki keterampilan membaca. Dinas Pendidikan (Disdik) setempat menggunakan asesmen formatif untuk memetakan dan membantu anak agar memiliki keterampilan membaca pada awal tahun ajaran 2020/2021.

Puji Lestari adalah pengajar di kelas 1 di SDN TU 2 dan telah menjalani profesi guru selama 13 tahun. Pada bulan Juni 2020 lalu, Ia bersama guru lain harus menerima siswa baru dalam situasi pandemi Covid-19. Sejak sekolah ditutup pada Maret 2020, ruang gerak guru menjadi terbatas. Guru tidak bisa melakukan interaksi yang intensif dengan siswa dan juga memulai kelas tanpa mengenal serta mengetahui kemampuan siswa. Bahkan, banyak siswa kelas 1 yang memulai sekolah dasar tanpa kemampuan membaca.

 

Rendahnya keterampilan membaca menjadi salah satu tantangan pendidikan di KTT. Survei kemampuan membaca yang dilakukan Disdik KTT bersama INOVASI pada bulan Maret 2020 menemukan hanya 39 persen siswa kelas 1 SD yang mampu mengenali huruf, suku kata, dan kata. Kondisi ini semakin menyulitkan karena selama masa pandemi, siswa kelas 1 harus belajar dengan sistem BDR.

Disdik KTT merespons dengan membuat kebijakan penggunaan asesmen formatif yang memanfaatkan alat tes sederhana. Guru kelas 1 dilatih untuk mengukur kemampuan literasi dasar siswa baru yang meliputi pengenalan huruf, suku kata, dan kata. Jika siswa mampu melewati tes literasi dasar, mereka dapat mengikuti tes pemahaman membaca. Alat tes ini dikembangkan Disdik KTT bersama INOVASI di mana seluruh pelatihan dilaksanakan melalui kegiatan di Kelompok Kerja Guru (KKG).

Setelah asesmen formatif selesai, Puji bersama guru-guru lainnya mengunjungi rumah siswa untuk melakukan pengukuran keterampilan membaca singkat – dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat, seperti menggunakan face shield dan masker. Proses pengukuran ini disaksikan orang tua agar mereka mengerti tujuan pengukuran ini. Puji kemudian melakukan analisis. Dari 21 siswa yang diukur, hanya 2 orang yang mampu mencapai tingkat pemahaman membaca; 1 orang mampu membaca kata; dan 18 orang siswa lainnya hanya bisa mengenal huruf.

“Pada bulan Juli di mana hasil pengukuran selesai saya analisa, ternyata 86 persen siswa saya berada di level mampu mengenal huruf,” tutur Puji Lestari. “Saya membuat dua model lembar aktivitas siswa (LAS). Satu untuk tingat kemampuan mengenal huruf dan satu lagi untuk tingkat kemampuan pemahaman membaca.”

Puji merujuk kebijakan kurikulum khusus Disdik KTT dalam menyusun materi belajar dengan memodifikasi Modul Belajar Literasi (MBL) pengembangan Kemendikbud menjadi LAS untuk KTT. Modifikasi ini dilakukan agar MBL Kemendikbud relevan dengan konteks setempat.

LAS didistribusikan kepada siswa seminggu sekali disertai peminjaman buku cerita yang disesuaikan dengan level kemampuan membaca siswa. Secara bergantian, orang tua dan siswa datang mengambil ke sekolah atau guru mengirimkan buku cerita ke rumah siswa. Cara ini dilakukan agar guru bisa melakukan pendampingan belajar, dan orang tua maupun guru bisa melihat perkembangan kemampuan belajar anak.

Puji melakukan pengukuran asesmen formatif secara periodik dan melihat tren perkembangan anak yang positif. Jika pada bulan Juli 2020 hanya 10 persen siswa yang mampu mencapai tingkat pemahaman membaca, lima bulan setelahnya persentase angka itu meningkat menjadi 24 persen.

Fauzan merupakan salah satu siswa yang kemampuan membacanya naik secara signifikan. Pada bulan Juli, Fauzan baru bisa membaca huruf. Puji memberikan pendampingan belajar membaca dan orang tuanya rutin membacakan buku cerita dan membantunya mengerjakan LAS. Tiga bulan kemudian kemampuan membaca Fauzan meningkat ke level membaca suku kata.

Setelah lima bulan, kemampuan Fauzan sudah naik ke tingkat lancar membaca kata,” ungkap Puji dengan penuh sukacita. “Bahkan jumlah anak yang hanya mengenal huruf menurun drastis. Dari 18 siswa kini tinggal 6 siswa.”

Keberhasilan Puji dalam meningkatkan keterampilan siswanya di masa pandemi menunjukkan pentingnya kebijakan yang tepat untuk mendukung guru selama BDR. Penggunaan asesmen formatif disertai dengan pelatihan, penggunaan kurikulum khusus, LAS, dan pendampingan, menjadi kunci keberhasilannya.