Di sisi lain, penampilan siswa juga beragam. Ada yang memakai seragam merah putih di hari Sabtu, ada yang memakai pakaian biasa. Ada yang memakai sepatu lengkap dengan kaos kakinya, ada pula yang sama sekali tidak memakai alas kaki. Bukan hanya itu, para siswa juga belum atau sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia.

Penampilan mereka bukanlah disebabkan oleh ketidakpatuhan mereka terhadap aturan sekolah, melainkan karena keterbatasan mereka untuk membeli lebih dari satu pasang seragam. Seragam yang mereka miliki kerap kotor dan penuh dengan keringat setelah bermain ataupun menempuh jarak jauh dari dan ke sekolah mereka.

Bukan hanya itu, mereka juga belum atau bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Hal ini seperti diungkapkan oleh Margaretha Ped Daido. “Saya sampai bingung sendiri. Lalu saya sempat menangis. Oh Tuhan, saya tidak bisa ini. Kenapa saya bisa mengajar di sini? Anak-anak yang begitu belum mengenal bahasa Indonesia yang benar. Selain itu pula, saya juga bukan asli di sini,” kata guru kelas 1 ini.

Margaretha sudah mengajar di SD Negeri Batu Karang selama 15 tahun terakhir. Berasal dari pulau Flores, ia sempat merasa frustrasi lantaran tidak tahu bagaimana harus mengajar anak-anak yang hanya bisa berbahasa Kodi yang merupakan bahasa setempat.

Namun, kondisi ruang kelas, kelengkapan sekolah para siswa, dan kendala bahasa tidak menghalangi kegiatan belajar mengajar di kelasnya.

Rasa cinta dan kasihnya kepada anak-anak muridnya menjadi bahan bakar semangatnya untuk mengajarkan bahasa Indonesia. Untuk bisa melakukan itu, Margaretha pun belajar bahasa Kodi secara perlahan sehingga bisa berkomunikasi dengan mereka. Selanjutnya, setelah mendapatkan pendampingan program Pembelajaran Multibahasa Berbasis Bahasa Ibu (PMBBI) kerja sama Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya dengan INOVASI, ia pun menerapkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa transisi ke bahasa Indonesia.

Untuk membantu siswanya lebih cepat memahami pelajaran, Margaretha mengajak mereka untuk mengenal nama benda-benda sekitar. Selain itu, buku cerita yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Kodi juga membantunya menyampaikan materi kepada siswanya. Terlebih dengan kehadiran gawai pintar yang berisi cerita dalam bahasa Kodi dan terjemahan bahasa Indonesia. Anak-anak yang biasanya datang, duduk, dan diam saja, kini dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran.

Keberadaan Margaretha di SD Negeri Batu Karang bukan tanpa alasan. Sebagai sekolah yang terpencil, kekurangan sumber daya memang menjadi masalah utama. Selain dirinya yang berasal dari luar pulau Sumba, ada juga Guru Garis Depan (GGD) dari daerah lain yang ditempatkan di sini.

Keterbatasan sumber daya itupun tidak memberi pilihan bagi Kedu Rabaho. Dengan keadaan tuli, dirinya harus menjadi kepala sekolah di sekolah ini karena tidak ada lagi yang bisa mengemban tugas tersebut. Sehari-hari, ia meminta guru-guru untuk berbicara setengah berteriak kepadanya agar ia mampu menangkap suara mereka. Kadang, guru-guru juga menuliskan pesan di atas kertas lalu memberikannya kepadanya.

Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh sekolah ini, hal tersebut nyatanya tidak menyurutkan semangat untuk mencerdaskan anak-anak Sumba Barat Daya, khususnya di daerah Kodi.

Di mata Kedu Rabaho, kehadiran program ini sangat membantu anak-anak dalam membaca. “Dengan buku-buku dan tablet yang disediakan, anak-anak sangat terbantu untuk membaca. Memang kemampuan mereka belum banyak meningkat tapi media tersebut membuat mereka semangat untuk belajar,” pungkasnya.