
Oleh: Denissa Almyra Putri
Hampir semua orang di Pulau Haruku, Maluku Tengah mengenal Pak Abu. Nama lengkapnya Abratif Tuasikal, seorang pengawas yang membina 24 sekolah di Kecamatan Pulau Haruku. Lahir dan tinggal di Negeri Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Pak Abu menyimpan segudang pengalaman sebagai aktor pendidikan lokal. Sebagai penduduk asli dari Negeri Pelauw sekaligus pendamping, ia menjadi salah satu garda terdepan dalam menjaga keselarasan pendidikan formal dan adat istiadat setempat.
Di Pulau Haruku, semua kegiatan adat sudah tertata rapi dalam kalender khusus—sehingga guru dan murid bisa berpartisipasi tanpa khawatir untuk bentrok dengan pelajaran. Sebaliknya, berbagai upacara seperti pelantikan raja (kepala desa), Maulid (perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW), hingga tradisi Cakalele (upacara adat yang menggambarkan kisah perjuangan masyarakat Pelauw) yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali—menjadi sarana bagi murid untuk memperkaya pengetahuan, meningkatkan kepercayaan diri, dan berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas.
“Di dalam acara-acara adat ini, banyak komponen yang memberikan kesempatan peserta didik untuk bisa berbaur dengan masyarakat, berani menggunakan bahasa daerah, dan tampil di depan orang banyak,” jelas Pak Abu.
Selain sebagai seorang pendamping, peran Pak Abu dalam menjaga tradisi dan adat di Pulau Haruku juga ia jalankan dalam bentuk keorganisasian. Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Pelauw (IPPMAP) yang dipimpin Pak Abu aktif mengadakan berbagai kompetisi, seperti puisi dan pidato dalam bahasa daerah, hingga baca tulis Al-Quran.

Kolaborasi di Dalam Ekosistem Pendidikan
Di Pulau Haruku, sekolah tidak hanya dilihat sebagai lembaga pendidikan, tetapi sebuah komunitas yang seringkali diberdayakan untuk kegiatan-kegiatan adat besar, seperti pelantikan raja. Sebelum acara dimulai, seluruh komunitas sekolah—dari guru hingga siswa—ikut bergotong royong melakukan pembersihan di rumah-rumah adat.
Guru juga berperan dan hadir dalam momen-momen penting masyarakat, seperti upacara di rumah soa (rumah adat) ketika ada yang meninggal dunia. Keterlibatan seperti ini membuat hubungan sekolah dan masyarakat semakin erat.
“Biasanya guru hadir di rumah soa marga tersebut untuk menunjukkan perannya di keluarga dan masyarakat, misalnya sebagai anak atau menantu,”

Inspirasi untuk Indonesia
Dalam semangat Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, cerita dari Pulau Haruku mengingatkan kita bahwa melestarikan budaya bukan berarti menolak kemajuan. Sebaliknya dengan memadukan keduanya, kita bisa menciptakan generasi yang cerdas sekaligus berkarakter.
Pak Abu dan para aktor pendidikan di Maluku Tengah membuktikan bahwa pendidikan terbaik adalah yang mampu menghargai masa lalu sambil mempersiapkan masa depan. Melalui cerita inspiratif dari Pulau Haruku, kita dapat memetik pelajaran bahwatidak cukup bagi anak-anak Indonesia untuk menjadi cerdas saja, namun mengenal jati diri dan budayanya juga merupakan hal yang tidak kalah penting.