
“Literasi bukan hanya soal mengenal huruf, tetapi menumbuhkan kecintaan untuk membaca sejak anak pertama kali melangkah ke sekolah.” Itulah keyakinan Noerbaeti Setianingsih, yang akrab disapa Ibu Nining.
Di sebuah madrasah kecil– MI Assuniyah III di Cirebon, Ibu Nining setiap pagi menyambut 47 wajah mungil yang sebagian bahkan belum mengenal huruf. Tantangannya besar, tapi semangatnya lebih besar. Sejak 2018, ia mengabdikan diri di kelas 1—kelas yang sering disebut paling menantang, sekaligus paling menentukan.
Tantangan Mengajar Kelas 1
Mengajar kelas 1 berarti membimbing anak-anak yang baru saja lulus dari TK yang berada dalam tahap penyesuaian diri menghadapi tuntutan akademik SD yang lebih tinggi. “Awalnya saya ragu, apalagi dengan kurikulum yang berlaku sekarang, anak-anak diharapkan sudah mampu membaca sejak kelas 1, padahal di TK membaca bukan suatu kewajiban,” ujar Ibu Nining.
Ia pun harus mencari strategi tambahan: mengelompokkan murid berdasarkan tahap kemampuan membaca, menjadwalkan les tambahan setelah jam sekolah, dan bekerja sama dengan guru pendamping agar setiap anak mendapat perhatian.
“Bagi saya, anak-anak ini dipercayakan kepada saya sebagai amanah dari orang tua. Saya berkomitmen untuk mendukung mereka sebaik mungkin, berapapun jumlahnya,” katanya.
Titik balik datang setelah ia mengikuti pelatihan INOVASI yang memperkenalkan asesmen membaca berjenjang. Dari sana ia menyadari bahwa membaca bukan sekadar ‘mampu atau tidak mampu’, melainkan melalui tahapan yang jelas—dari huruf, suku kata, kata, hingga kalimat.
“Sebelumnya saya langsung saja mengajarkan membaca. Setelah belajar tentang asesmen ini, saya bisa memetakan kemampuan anak-anak. Misalnya, siapa yang masih di tahap huruf, siapa yang sudah sampai suku kata. Jadi lebih terstruktur,” jelasnya.
Berbekal pelatihan literasi, ia mulai memetakan kemampuan membaca murid: dari mengenal huruf, mengeja suku kata, hingga merangkai kalimat.
Hasilnya? Dalam waktu sebulan, jumlah anak yang belum bisa membaca berkurang setengahnya!
Mempromosikan Literasi di Era Digital
Tema Hari Literasi Internasional tahun ini, “Promoting Literacy in the Digital Era” sangat relevan dengan kondisi di Cirebon. Dengan akses internet terbatas, Ibu Nining tak pernah menyerah. Ia mencetak materi dari ponsel, meminjam buku dari tetangga, bahkan menjadikan benda sehari-hari sebagai bahan belajar. Baginya, setiap anak berhak punya jendela lebih luas untuk melihat dunia.
Di Hari Literasi Internasional ini, kita menghormati dan mengapresiasi para guru seperti Ibu Nining yang mengingatkan kita bahwa literasi dapat tumbuh dari ruang-ruang kelas sederhana. Mereka adalah penggerak sejati literasi yang menumbuhkan cahaya penerang pengetahuan di hati anak-anak Indonesia.