Oleh: Dian Kusuma Dewi

Di SDN Tlekung 1 Kota Batu, Jawa Timur, Erni Kurniawati, S.Pd., guru kelas 5, sering menerima keluhan dari orang tua tentang perilaku murid di sekolahnya. Ada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang menjadi korban ejekan teman-temannya, ada murid yang memilih-milih teman, bahkan ada murid laki-laki yang sering menggoda teman perempuan secara verbal.

“Dulu, melakukan perundungan pada teman dianggap hal biasa. Meskipun sudah diperingatkan, anak-anak tetap mengulanginya. Mereka tidak merasa bersalah sama sekali,” ungkap Erni.

Menurutnya, murid perempuan menjadi kelompok rentan. Mereka sering kali diam ketika mengalami tekanan, ancaman, atau pelecehan.  Hal ini dikarenakan norma gender yang ada di masyarakat sering kali menuntut anak perempuan untuk patuh. “Mereka tidak berani speak up karena takut. Akibatnya, masalah tidak pernah selesai dan motivasi belajar mereka menurun,” tambahnya.

Situasi serupa juga dialami Yayu Lira Pariyani, S.Pd., guru di SDN 013 Tarakan, Kalimantan Utara. Ia menemukan banyak murid perempuan menjadi objek perundungan, sekaligus menanggung beban domestik di rumah. “Salah satu murid perempuan saya harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah dan mengantar adiknya ke sekolah lain sebelum berangkat. Ia sering terlambat karena itu,” cerita Yayu.

Sementara di SDN Giripurno 2 Kota Batu, Candra Vebrian Ika Wati, S.Pd., resah karena ada murid perempuan yang sering menerima pesan dan gambar tidak senonoh dari temannya lewat WhatsApp. Namun murid itu memilih diam, tak berani melapor kepada guru maupun orang tua.


Mewujudkan Sekolah Aman Melalui Kerja Sama INOVASI dan Puspeka

Kasus-kasus seperti ini mendorong kolaborasi antara Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) dan Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikdasmen pada tahun 2024. Kerja sama ini bertujuan untuk menciptakan sekolah yang aman, nyaman, dan menggembirakan, dimulai dari tiga dari 16 sekolah pilot, yakni: SDN Tlekung 1, SDN Giripurno 2, dan SDN 013 Tarakan.

Program ini melibatkan seluruh ekosistem sekolah—kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua—melalui kegiatan ko-kurikuler dan pembiasaan yang mengajarkan konsep Social Emotional Learning (SEL). Murid diajak untuk mengenali diri secara fisik dan mental, memahami batas sentuhan aman dan area pribadi, mengenali emosi dasar serta cara meregulasi emosi, dan mengenali bentuk-bentuk kekerasan dan bahayanya

Pendekatan ini juga melibatkan orang tua agar penguatan karakter berlanjut di rumah. Di sisi lain, permainan tradisional digunakan untuk menumbuhkan empati, kasih sayang, dan rasa saling menghargai antar murid, sekaligus mengurangi ketergantungan anak terhadap gawai.


Dari Surat Keluarga hingga Ruang Aspirasi

Melalui pembelajaran SEL, Erni di SDN Tlekung 1 menemukan cara kreatif untuk menumbuhkan empati dan komunikasi antara murid dan orang tua. Ia mengajak murid menulis “Surat Keluarga”, berisi ungkapan perasaan mereka kepada orang tua. Surat ini juga dipertukarkan antar murid agar mereka bisa saling mengenal karakter teman-temannya.

“Banyak orang tua akhirnya menyadari bahwa ada hal-hal yang mereka lakukan selama ini ternyata membuat anak merasa tidak nyaman,” cerita Erni.

Selain itu, sekolah juga membuka ruang aspirasi orang tua dengan menyebarkan barcode formulir suara dan aspirasi yang mudah diakses di lingkungan sekolah. Melalui kanal ini, orang tua dapat memberikan masukan positif untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah maupun di rumah.

Di SDN 013 Tarakan, Yayu mendorong murid mengenali berbagai bentuk kekerasan dan dampaknya, sekaligus mengedukasi orang tua agar tidak menggunakan kekerasan dalam pengasuhan.

Sedangkan di SDN Giripurno 2, Candra menekankan pentingnya keberanian murid untuk speak up jika mengalami perundungan, termasuk melalui media sosial. “Setelah sosialisasi sekolah aman, kini murid-murid berani bersuara. Bahkan ada wali murid yang datang melapor karena anaknya akhirnya berani bercerita,” ujarnya.


Ruang Aman untuk Seluruh Murid

Upaya yang dilakukan ketiga sekolah ini patut diapresiasi. Mereka telah membangun ruang aman yang mendorong murid, terutama murid perempuan dan ABK untuk berani melapor saat mengalami kekerasan. Ini menjadi langkah awal yang penting dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan di lingkungan sekolah.

Kekerasan di satuan pendidikan sering disebut sebagai fenomena gunung es, karena banyak kasus tidak dilaporkan sehingga korban tidak mendapatkan penanganan. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tahun 2024 mencatat 19.628 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 15.242 korban anak perempuan dan 6.406 anak laki-laki. Dan sekolah / satuan pendidikan menempati urutan ke-empat berdasarkan lokasi kejadian. Sementara itu berdasarkan jenis kekerasan, kekerasan pada anak meliputi: kekerasan seksual, fisik, dan psikis.

Data ini menjadi pengingat bahwa sekolah memang masih rentan, tetapi juga memiliki potensi besar untuk menjadi ruang yang paling aman bagi anak—selama seluruh pihak bergerak bersama.


Sekolah Aman, Murid Berdaya

Tiga sekolah pilot binaan INOVASI dan Puspeka telah menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang kelas: dari keberanian murid untuk bersuara, dari guru yang peduli, dan dari orang tua yang mau mendengar.

Karena ketika murid merasa aman, mereka tidak hanya berani bicara—mereka juga berani bermimpi.