“Anak tuli, semangat belajar, ya! Anak tuli hebat.” Kalimat sederhana ini sering disampaikan teman tuli, Daffa Naufal Novriansyah,  Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Cirebon, yang percaya setiap anak, termasuk anak dengan disabilitas, berhak mendapat mendapat ruang untuk berkembang.

Bagi Daffa, Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) bukan sekadar alat komunikasi, namun sebuah jembatan untukmembangun inklusi dan  memperkuat kepercayaan diri. Ia aktif menggunakan BISINDO dalam berbagai forum untuk memastikan suara difabel terdengar.

Temu Inklusi 2025: Ruang Belajar dan Bersinergi

Tahun ini, Temu Inklusi, forum dua tahunan gerakan difabel, mengusung tema: “Komitmen, Sinergi, Aksi, dan Inovasi Kebhinnekaan untuk Indonesia Emas 2045.” Tema tersebut menegaskan inklusi sebagai proses berkelanjutan yang butuh keterlibatan seluruh bangsa. Forum ini menghasilkan rekomendasi penguatan pendidikan inklusif, seperti pembentukan Unit Layanan Disabilitas di sekolah dan regulasi yang lebih berpihak pada difabel.

Peran Mitra Lokal dalam Mendorong Pendidikan Inklusif

Keikutsertaan Yayasan Wahana Inklusi Indonesia dan KLASA Cirebon menjadi bagian penting dari Temu Inklusi tahun ini. Melalui pameran dan dialog publik, mereka memperkenalkan modul pelatihan pendidikan inklusif untuk guru dan kepala sekolah, buku asesmen multidisiplin, hingga karya-karya siswa dengan disabilitas.

Melalui kisah Daffa dan kehadiran Wahana Inklusi di Temu Inklusi 2025, kita belajar bahwa inklusi bukan sekadar jargon, melainkan perjuangan nyata yang terus hidup.
Dari Cirebon, suara itu menggema: Indonesia yang setara dan berkeadilan hanya tercapai jika semua anak diberi ruang untuk belajar dan berkarya.