
(© Foto oleh Tim Komunikasi INOVASI)
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan INOVASI terus berupaya mewujudkan pendidikan inklusif di Indonesia. Dengan menerapkan inklusivitas, semua siswa dapat mengakses dan berpartisipasi dalam setiap aktivitas pendidikan, juga mengembangkan potensi mereka secara maksimal.
Menurut Danielle Tracey, profesor di bidang pendidikan dari Western Sydney University, Australia, pendidikan inklusif membutuhkan sistem yang kompleks dan komprehensif—mulai dari kurikulum, tenaga pendidik, fasilitas sekolah, pendanaan, hingga regulasi. Namun, peningkatan kapasitas guru merupakan faktor terbesar untuk memperbaiki capaian belajar siswa dan mencapai pendidikan inklusif itu sendiri.
“Guru memiliki kekuatan (power) dan pengaruh (influence) terhadap siswa di kelas. Jadi, pelatihan terkait pendidikan inklusif harus diberikan sebelum guru mulai mengajar di kelas dan sepanjang karirnya,” kata Danielle dalam webinar ‘Mewujudkan Pendidikan Inklusif melalui Transformasi Pendidikan Guru,’ yang diadakan Direktorat Pendidikan Profesi Guru Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru Kemendikdasmen pada 29 Juli 2025.
Dalam pelatihan tersebut, guru dan calon guru perlu memahami lima prinsip pendidikan inklusif. Pertama, mengubah cara pandang terhadap penyandang disabilitas dari model medis (fokus pada keterbatasan penyandang disabilitas) ke model sosial (membedakan antara keterbatasan penyandang disabilitas dan keterbatasan karena hambatan sosial). Dengan begitu, intervensi atau perubahan dilakukan pada lingkungan belajar.
Kedua, beralih dari kesetaraan (equality) ke keadilan (equity): bukan semua orang mendapat hal yang sama, tetapi setiap orang mendapat apa yang mereka butuhkan untuk memiliki peluang sukses yang setara. Ketiga, terapkan Universal Design for Learning (UDL) untuk menghapus hambatan sejak awal dan memberi berbagai pilihan belajar agar siswa dapat mengembangkan potensinya.
“UDL membutuhkan perubahan di level sistematis, seperti kurikulum dan praktik pembelajaran,” tambah Danielle.
Keempat, menerapkan pembelajaran yang berpusat pada siswa, bukan hanya pada kondisi disabilitasnya. Kelima, mengidentifikasi dan mengakui kekuatan atau kelebihan siswa, sehingga guru dapat menerapkan strategi belajar yang efektif dan siswa termotivasi untuk berkembang.
Selain prinsip-prinsip itu, Kepala Konsorsium Pendidikan Guru Indonesia-Australia (KPGIA) Martadi mengatakan kolaborasi antara akademisi, mitra pembangunan, dan pemerintah berperan penting dalam mendorong pendidikan inklusif. Dengan pendekatan triple helix ini, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) akan menyiapkan guru-guru kompeten, sementara KPGIA menyediakan dukungan sumber daya dan jejaring.
“Lalu, pemerintah melalui Kemendikdasmen menjadi pengikatnya, dengan menetapkan kebijakan nasional yang menyelaraskan langkah ketiga pihak,” kata Martadi.
Pelatihan bagi guru dan calon guru diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran, empati, dan pendekatan yang fokus terhadap kebutuhan spesifik siswa, terutama siswa penyandang disabilitas. Nilai-nilai itu lantas dapat terlihat dalam cara mereka membuat rencana belajar, mengenali karakteristik dan potensi siswa, mengajar, dan menilai hasil belajar, sehingga akhirnya pendidikan inklusif dapat terwujud bagi semua siswa di Indonesia.