Temu Inovasi ke-14 menjadi ajang bertukar pengetahuan dan pengalaman guna merumusan rekomendasi bagi upaya mendorong transformasi pembelajaran. Diskusi tersebut didasarkan pada temuan dari seri laporan studi kesenjangan hasil belajar siswa yang dilakukan Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Program INOVASI.

Acara bertema “Transformasi Pembelajaran: Sampai di Mana Perjalanan Kita?” yang diadakan di Jakarta, Jumat (6/12), ini diawali dengan sambutan oleh Kepala BSKAP Kemendikbudristek Anindito Aditomo. Anindito mengatakan, tujuan studi adalah agar semua anak di Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapat pengalaman dan kesempatan belajar yang sama, serta membangun kapasitas dan keterampilan-keterampilan dasar yang memampukan mereka untuk menjadi manusia mandiri di masa depan.

“Kecakapan adalah menjadi dasar kelulusan, tujuan pembelajaran. Konten adalah sarana. Yang penting dalam pendidikan adalah semua anak belajar dan menjadi mandiri,” kata Anindito.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Program INOVASI, Mark Heyward memaparkan hasil Studi Kesenjangan Pembelajaran. Studi yang dilaksanakan oleh BSKAP dan INOVASI tersebut dimulai sejak 2020. Sebanyak 18.370 siswa kelas 1 – 3 sekolah dasar dengan proporsi gender setara dari 612 sekolah yang dipilih secara acak berpartisipasi di dalam studi ini. Mereka berasal dari 11 kabupaten INOVASI di provinsi Jawa Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Untuk memberikan cakupan dan keseimbangan dalam seluruh aspek sistem pendidikan Indonesia, ditambahkan pula delapan kabupaten non-mitra INOVASI, yakni dari provinsi Jambi, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan dan Maluku Utara.

Temuan studi tersebut dilaporkan dalam tiga seri. Di seri pertama yang berjudul Studi Kesenjangan Pembelajaran – 1, Tak Sekedar Huruf dan Angka: Pengaruh Pandemi Covid-19 dan Fondasi Dasar Literasi dan Numerasi di Indonesia, salah satu temuan utamanya adalah banyak siswa di Indonesia yang belum menguasai keterampilan dasar literasi dan numerasi. Padahal, siswa yang belum menguasai kemampuan dasar di jenjang tertentu akan semakin tertinggal di jenjang-jenjang berikutnya.

Lalu pada laporan seri kedua berjudul Studi Kesenjangan Pembelajaran – Seri 2, Mereformasi Kurikulum Indonesia: Bagaimana Kurikulum Merdeka Mengatasi Learning Loss dan Meningkatkan Hasil Belajar dalam Literasi dan Numerasi, ada temuan terkait standar kurikulum nasional yang lebih tinggi dari laju kemampuan belajar siswa dan standar global. Untuk itu, reformasi kurikulum diperlukan karena kurikulum yang fokus terhadap kemampuan esensial berpotensi mengurangi menekan kehilangan hasil belajar (learning loss) selama pandemi.

Adapun pada laporan seri ketiga yang berjudul Studi Kesenjangan Pembelajaran – 3, Kesenjangan yang Kian Melebar: Dampak Pandemi COVID-19 pada Siswa dari Kelompok Paling Rentan di Indonesia, terungkap bahwa meskipun COVID-19 berdampak untuk semua siswa, siswa dari kelompok rentan cenderung paling terdampak. Siswa dengan multi kerentanan berpotensi memiliki hasil belajar lebih rendah. Siswa di pedesaan dan daerah terpencil lebih banyak yang memiliki performa literasi dan numerasi tingkat 1 sehingga tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum dibandingkan dengan siswa di perkotaan. Bagi kelompok siswa penyandang disabilitas, sebanyak 91 persen siswa laki-laki penyandang disabilitas di pedesaan tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum, sementara jumlah siswa laki-laki penyandang disabilitas di perkotaan yang tidak memenuhi keterampilan minimum mencapai 82 persen.

Faktor lainnya adalah guru dan keluarga. Sebanyak 56 persen guru di pedesaan dan daerah terpencil merasa kurang percaya diri untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ), sementara guru di perkotaan yang kurang percaya diri untuk melakukan PJJ hanya 37 persen. Dari sisi orang tua, orang tua siswa di perkotaan lebih terlibat dalam studi anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua di pedesaan dan daerah terpencil.

Mark mengatakan, studi menyimpulkan bahwa kurikulum yang berfokus pada kemampuan esensial (literasi dan numerasi) berpotensi mengurangi learning loss. Selain itu, kurikulum yang berfokus pada materi esensial juga berpotensi untuk mengurangi ketimpangan hasil belajar bagi kelompok rentan.

“Karakter kurikulum yang berpotensi meningkatkan hasil belajar siswa adalah kurikulum yang berfokus pada materi esensial dan memberikan ruang fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan anak,” ujarnya.

Berangkat dari temuan-temuan tersebut, ada sejumlah rekomendasi yang dirumuskan. Di level sistem dan kebijakan, perlu ada transformasi kurikulum, pengembangan kapasitas guru, serta perbaikan akses dan kualitas sumber daya pembelajaran dan infrastruktur. Di level sekolah, perlu ada penggunaan asesmen formatif, adaptasi pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa, serta memaksimalkan penggunaan sumber belajar seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan platform lokal yang tersedia. Lalu di level komunitas, perlu ada upaya untuk mengaktifkan komunitas praktisi seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk pengembangan kapasitas guru, serta membangun dan memperkuat kolaborasi dengan masyarakat (orang tua, swasmitra pembangunan, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), perangkat desa, dan pihak relevan lainnya) dan entitas pendidikan terkait (Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) dan Balai Guru Penggerak (BGP).

Praktik baik upaya pemulihan pembelajaran

Selain paparan hasil studi, Temu Inovasi ke-14 yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan pendidikan dari sejumlah daerah juga menjadi ruang berbagi kisah praktik inspiratif untuk memulihkan pembelajaran siswa. Niayah, Kepala Madrasah Ibtidaiyah I Muhammadiyah (MIM) 16 Paciran Lamongan, Jawa Timur, misalnya, bercerita tentang transformasi pembelajaran melalui penyebarluasan literasi dalam komunitas belajar untuk mendukung Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).

Sebagai Koordinator Daerah (Korda) pelaksanaan program INOVASI-Literasi di daerahnya, Niayah harus melaksanakan program literasi di 10 lembaga SD/MI di tengah pandemi. Ia pun bekerjasama dengan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jatim pada 2020. Ia mengembangkan program literasi di MIM 16, yakni berupa literasi Al-Quran dan literasi membaca yang menyeluruh bagi para siswa. Bersama para guru, ia melakukan bedah kelas, membuat jam khusus membaca, merenovasi perpustakaan, membuat pojok baca di kelas dan lorong sekolah, membuat program tahfidz Quran dan kompetisi-kompetisi literasi di madrasahnya. Upaya itu berhasil sehingga diadopsi oleh hampir seluruh SD dan MIM di Kabupaten Lamongan.

“Seluruh kegiatan diseminasi ini dilakukan dengan pendanaan mandiri yang didasarkan pada kesadaran untuk melakuan perubahan terutama untuk MIM. Selama ini memang sangat jarang ada program pelatihan dan pendampingan yang memang ditujukan untuk madrasah. Dengan bermitra dengan INOVASI, guru banyak mendapatkan kesempatan berkolaborasi dengan madrasah lain dan mendapatkan pengembangan kapasitas untuk mengajar yang menyenangkan,” terangnya.

Kisah inspiratif lainnya disampaikan oleh Kepala Sekolah Dasar Masehi Mbatakapidu, Sumba Timur, NTT Yunitha May Atanumba mengenai transformasi pembelajaran bahwa pembelajaran yang dirancang oleh guru yang dulu berpusat pada guru sekarang sudah berpusat pada siswa. “Melalui kegiatan KKG kami berkolaborasi untuk menyusun modul ajar, membuat media bersama, melakukan simulasi dan refleksi. Jika sebelumnya guru belum melakukan asesmen pembelajaran, sekarang guru wajib melakukan asesmen awal pembelajaran dan memetakan kemampuan siswa,” tambahnya.

Vamelia Ibrahim selaku Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tana Tidung, Kalimantan Utara, juga berbagi pengalaman terkait upaya percepatan pemulihan pembelajaran di Tana Tidung. Proses pemulihan pembelajaran itu dilakukan melalui dua jalur, yakni sekolah dan masyarakat. Khusus untuk pemulihan pembelajaran melalui jalur masyarakat, pengoptimalan fungsi TBM menjadi pilihan. Dalam waktu satu tahun, Vamelia berhasil mendorong berdirinya 38 TBM di seluruh desa di Tana Tidung.

“Kami melakukan pengambilan data di SD 13 Tana Tidung. Anak yang dulunya belum bisa baca, setelah ke TBM, mereka mulai lancar membaca. Data per Juli – Oktober 2022 di SD tersebut menujukkan ada sebanyak 55% siswa kelas awal telah lulus kompetensi literasi dasar atau siswa sudah lancar membaca. Kemudian, 85% siswa kelas tinggi telah sampai level pemahaman membaca secara mandiri atau siswa mampu menjawab pertanya yang jawabannya ekplisit dan implisit,” ujar dia.

Selain kisah inspiratif dari daerah, Temu Inovasi ke-14 juga diisi dengan sesi diskusi. Sejumlah topik yang dibahas dalam sesi diskusi tersebut antara lain capaian keterampilan dasar siswa Indonesia, upaya pemulihan pembelajaran, dan kesenjangan yang dihadapi kelompok rentan dalam pendidikan di Indonesia.