
Sri Ida Rohyani, S.Pd adalah seorang guru kelas 1 di SDN 3 Batunyala, Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Tahun lalu, ia menjadi salah satu Fasilitator Daerah (Fasda) program INOVASI yang berfokus pada mutu pembelajaran dalam pendidikan yang inklusif (program SETARA) yang dilaksanakan di kabupaten tersebut. Hal ini menjadi pengalaman yang berharga baginya. Sebelumya, pernah ada siswa yang berkebutuhan khusus di kelas yang ia ajar. Namun, karena Ida belum memiliki bekal yang cukup dalam mengajar anak berkekbutuhan khusus, di kelas Ida melakukan kegiatan pembelajaran yang tidak berbeda dengan siswa lainnya.
Namun, praktik pembelajaran seperti itu kemudian perlahan berubah sejak Ida bergabung dengan program INOVASI. Keterlibatannya kemudian memberinya banyak pengetahuan dan pengalaman penting tentang bagaimana mengajar anak-anak berkebutuhan khusus.
Di tahun ajaran yang baru lewat kemarin, bekal sebagai Fasda program pendidikan inklusif benar-benar dimanfaatkan olehnya. Pasalnya, di antara anak didiknya di kelas satu, ada salah satu yang berkebutuhan khusus.
“Siswa saya itu tipe yang mudah marah dan meraung-raung kalau di kelas, apalagi jika misalnya ada barangnya yang diambil sama temannya. Emosinya sangat tidak stabil dan mudah terpicu. Waktu di awal, neneknya harus menemani dia hingga akhir jam pelajaran. Kondisinya itu sampai membuat teman-temannya merasa terganggu,” cerita Ida.
Menghadapi situasi itu, Ida lantas mengambil beberapa cara. Dia memberi pemahaman pada murid-muridnya yang lain di kelas itu tentang kondisi temannya yang berkebutuhan khusus (ABK). Ini agar para siswa bisa menerima dengan tangan terbuka kondisi salah satu teman mereka tersebut dan juga agar mereka bisa tahu apa yang mesti dilakukan ketika berinteraksi dengannya.
Pendekatan khusus juga dilakukan oleh Ibu Ida kepada nenek dari siswa ABK ini. Selama ini ini siswa ABK tersebut memang di asuh oleh sang nenek karena kedua orang tuanya tengah bekerja di tempat lain. Kepada sang nenek, Ibu Ida memberi beberapa masukan dan pendampingan tentang bagaimana memperlakukan cucunya selama di rumah, yang diharapkan perlahan-lahan mampu membuat kondisi sang cucu menjadi lebih baik.
Perhatian khusus yang diberikan pada siswa ABK itu berbuah manis. Selang beberapa waktu kemudian, Ida mulai merasakan perubahan di kelasnya.
“Beberapa bulan setelah pendekatan tersebut saya lakukan, saya melihat situasinya sudah jauh lebih baik. Teman-temannya sudah mulai bisa menerima temannya yang ABK ini dan tahu cara yang tepat ketika berinteraksi dengannya,” tutur Ida.
Ida ketika berkunjung ke salah satu siswanya yang juga merupakan ABK. Selain belajar dalam kelompok kecil, Ida selalu menyempatkan melakukan kunjungan khusus kepada siswanya ini.
Perhatian dan perlakuan khusus ini juga tetap diberikan oleh Ida selama masa Belajar Dari Rumah (BDR) di tengah situasi pandemi Covid-19. Meskipun mayoritas kegiatan pembelajaran dilakukan dalam kelompok kecil, tapi beberapa kali ia menyempatkan diri secara khusus untuk datang ke rumah siswa ABK tersebut dan mengajarinya. Tugas yang diberikan pun berbeda dari siswa lainnya. Model pembelajarannya disusun supaya sang siswa tidak mudah bosan dan tetap mau belajar. Ida juga menyempatkan diri berbincang dengan nenek dan kedua orang tuanya, yang saat ini kebetulan sedang ada di rumah, untuk mengetahui perkembangan siswanya.
Selama masa pandemi ini, sekolah SDN 3 Batunyala memang melakukan proses belajar dari rumah secara luring atau luar jaringan. Ini dilakukan karena kondisi para siswanya tidak memungkinkan untuk melakukan pembelajaran daring yang memanfaatkan teknologi.
Ida pun pertama-tama melakukan identifikasi, melihat mana lokasi rumah siswa-siswanya yang berdekatan kemudian membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok kecil. Pertemuan biasanya berlangsung tiga kali dalam sepekan dengan berfokus pada materi pokok literasi dan numerasi. Setiap usai pertemuan, siswa akan kembali ke rumahnya dengan tugas-tugas yang akan diperiksa di pertemuan berikutnya.
Bagi Ida, memang ada banyak tantangan yang dia temui selama proses belajar dari rumah ini. Satu yang pasti adalah proses belajar anak-anak menjadi tidak maksimal baik itu dari segi kuantitas maupun kualitas. Ketika belajar di rumah, perhatian anak-anak mudah teralihkan oleh begitu banyak hal. Ini juga terjadi ketika dia datang ke rumah siswa ABK.
“Sulit dia fokus karena dikerumunin sama adik-adiknya, neneknya, dan juga bibi-bibinya. Jadi, ketika kita menjelaskan sesuatu pada si anak, ada aja yang nyeletuk dari belakang,” cerita Ibu Ida.
Ida pun berharap kedepannya nanti akan ada semacam pembekalan dan petunjuk khusus bagi guru-guru, terkait belajar dari rumah ini.