Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014, setiap sekolah wajib memiliki perpustakaan. Namun, data BPS (Badan Pusat Statistik) 2019 menunjukkan belum semua sekolah di Indonesia memiliki perpustakaan sendiri, seperti dilansir dari Katadata.co.id.

Menurut laporan tersebut, jenjang pendidikan dengan jumlah perpustakaan sekolah paling sedikit adalah SD. Padahal, SD adalah satuan pendidikan terbanyak di antara semua jenjang pendidikan. Dari 148.673 SD di Indonesia, baru 66,14% di antaranya yang memiliki perpustakaan.

Selain sekolah yang belum memiliki perpustakaan, sekolah yang sudah memiliki perpustakaan pun memiliki sejumlah permasalahan seperti kurangnya buku non-teks yang kontekstual, tidak ada petugas perpustakaan khusus, tidak ada aktivitas yang menumbuhkan minat baca anak di perpustakaan, hingga beralih fungsinya perpustakaan menjadi gudang.

Fakta ini bisa dijumpai di sejumlah sekolah mitra INOVASI di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di SD Islam Mananga di Kabupaten Sumba Tengah misalnya. Muh. Subhan Satirando, kepala sekolah di SD ini, mengatakan dulu hanya ada buku-buku teks pelajaran, ditumpuk dalam kardus. Siswa hanya mengujungi perpustakaan saat disuruh. Itupun hanya membolak-balik halaman buku.

Di SD Negeri Lokory di Kabupaten Sumba Barat pun demikian. Bahkan menurut kepala sekolahnya, Paulus Pandang, bangunan perpustakaan dulunya malah dimanfaatkan sebagai gudang untuk menyimpan buku dan peralatan sekolah.

Menumbuhkan minat baca anak melalui perpustakaan

Pada Fase I (2018-2019), INOVASI bekerja sama dengan TBP (Taman Bacaan Pelangi) untuk menghadirkan masing-masing 2 perpustakaan ramah anak di 4 kabupaten di pulau Sumba.

Melalui kerja sama ini, bangunan perpustakaan seperti di SD Islam Mananga dan SD Negeri Lokory direnovasi dan dibuat sedemikian rupa sehingga menarik untuk anak-anak.

Lebih dari 1.000 buku cerita dengan judul beragam juga disediakan di setiap perpustakaan, dikelompokkan berdasarkan tingkat kesulitan, dan ditata di atas rak sehingga mudah dijangkau oleh para siswa.

Semua elemen sekolah mulai dari pegawai perpustakaan, guru, hingga kepala sekolah, juga diberikan lokakarya mengenai pengelolaan perpustakaan yang baik dan mengadakan program membaca di perpustakaan.

Setiap rombongan belajar memiliki jadwal kunjungan khusus ke perpustakaan. Saat kunjungan, mereka melakukan kegiatan membaca yang berbeda yaitu membaca lantang, membaca bersama, membaca berpasangan, dan membaca mandiri.

Siswa juga diwajibkan meminjam buku selama waktu tertentu untuk dibaca di rumah. Menurut pengakuan guru-guru di semua SD mitra, siswa kerap terlihat membaca di lingkungan sekitar rumah mereka.

Sejumlah sekolah di keempat kabupaten pun juga mencontoh apa yang dilakukan di 8 sekolah dengan perpustakaan model ini melalui pendanaan BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Membangun kembali momentum prapandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 memaksa aktivitas pembelajaran di sekolah dihentikan. Perpustakaan pun ditutup. Anak-anak belajar dari rumah baik secara daring maupun luring di titik-titik kumpul. Namun, jam belajar siswa berkurang drastis. Dari yang biasanya di atas 3 – 4 jam untuk kelas awal menjadi 30 menit saja. Akibatnya, siswa mengalami kehilangan pembelajaran atau learning loss yang tinggi.

Kondisi ini diperparah dengan tidak tersedianya buku-buku bacaan di rumah siswa. Akibatnya, kebiasaan membaca siswa yang sudah mulai terbangun melalui berbagai aktivitas membaca di perpustakaan perlahan menghilang.

Selama sekolah ditutup, perpustakaan ramah anak di SD Negeri Lokory dikunci. Tenaga perpustakaan yang dikontrak sekolah juga tidak pekerjakan lagi. Tidak ada aktivitas yang dijalankan. Debu mulai menumpuk di atas buku, rak, meja, dan karpet.

Situasi yang sama juga dijumpai di SD Islam Mananga. Walaupun sekolah sempat dibuka-tutup beberapa kali seiring diberlakukannya PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), aktivitas di perpustakaan belum dilakukan. Pasalnya, waktu siswa di sekolah sangat singkat dan digunakan untuk menginformasikan tugas yang akan mereka kerjakan selanjutnya.

Mungkin di rumah siswa memang membaca tapi hanya dengan buku pelajaran yang mereka terima dari guru,” kata Fadillah Pua Nggolo, guru kelas 3 di SD Islam Mananga.

Setelah dinas pendidikan di masing-masing daerah mengeluarkan edaran untuk membuka sekolah secara resmi pada akhir September 2021 lalu, aktivitas di perpustakaan kembali dilanjutkan. Walaupun sudah lama tidak ke sekolah, antusiasme siswa untuk membaca di perpustakaan rupanya tidak luntur.

Setelah sekolah kembali dibuka, anak-anak antusias sekali untuk membaca buku di perpustakaan. Bahkan, (sudah) banyak anak yang meminjam buku,” ungkap Albertina Bili, guru kelas 1 di SD Negeri Lokory.

Untuk mendukung operasional perpustakaan, sekolah menunjuk Robinson Bora, guru mata pelajaran, menjadi pegawai perpustakaan yang baru di SD Negeri Lokory. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi wali kelas. Bahkan sempat menjadi pegawai perpustakaan. Menurutnya, ada 2 alasan kunci mengapa anak-anak antusias kembali ke perpustakaan.

Pertama, perpustakaan ini sangat nyaman untuk siswa belajar karena lantainya sudah ada karpet, ada meja, ada bantal untuk siswa belajar. Di tembok pun, banyak lukisan yang indah. Kedua, kami juga memiliki banyak koleksi buku cerita yang menarik dan bervariasi,” jelas Robinson.

Sementara itu, Halifah Husen, pegawai perpustakaan di SD Islam Mananga mengaku senang bisa kembali melayani anak-anak di perpustakaan. “Saya senang bisa kembali melayani anak-anak. Alhamdulillah dalam September ini, sudah banyak yang meminjam buku,” ungkapnya.

Meski saat ini sekolah masih memberlakukan PTM (Pertemuan Tatap Muka) Terbatas, waktu siswa di sekolah sudah lebih lama dibanding saat sekolah buka-tutup. Anak-anak diberikan waktu 15 menit untuk membaca di perpustakaan. Selain itu, mereka sudah bisa meminjam buku untuk dibawa ke rumah sehingga mereka lebih leluasa membaca di rumah.

Baik Robinson maupun Halifah berharap, melalui perpustakaan ini, minat baca dan pemahaman siswa semakin berkembang.