Dua hari kemudian, Yulius kembali menguji kemampuan siswa-siswa tersebut dan mendapati mereka sangat lancar membaca kalimat yang telah diberikan. Merasa tidak yakin dengan kemampuan siswanya, Yulius lalu meminta mereka mengulang membaca tapi kali ini Yulius meminta mereka untuk membaca kata per kata sementara dirinya mengamati. Ternyata, sebagian besar dari mereka belum lancar. Ia pun kembali memberi mereka tugas yang sama.

“Jadi, saya berikan lagi tugas yang sama dan menguji mereka dua hari kemudian, tapi kali ini kertas mereka ditukar dengan temannya yang lain.” Yulius menukar kalimat siswa dengan siswa lainnya sehingga tidak ada siswa yang membaca kalimat yang telah mereka bawa ke rumah. Hasilnya, banyak yang tidak bisa membaca dengan baik.

Temuan ini memperkuat hasil ujian sebelumnya. Yulius kemudian menyadari bahwa siswa-siswa baru tersebut ternyata menghafal kalimat yang diberikan.

Diakui Yulius, kendati sudah mengetahui kemampuan membaca siswanya, dulu tidak banyak yang Yulius bisa lakukan. Metode mengajarnya masih monoton, klasikal sepanjang pelajaran, dan tidak memperhatikan perbedaan kemampuan siswanya. “Anak-anak yang kemampuannya sudah bagus, ya mereka terima (pelajaran). Sementara mereka yang kemampuannya pas-pasan atau di bawah, ya tidak bisa menerima pelajaran dan biasanya jadi malas.” Yulius mengaku hanya mengikuti apa yang ada di buku teks. “Dalam kurikulum, tidak ada langkah detail bagaimana mengajar anak-anak dengan kemampuan yang berbeda-beda. Jadi, saya ikuti saja,” ungkapnya.

Anak-anak yang kemampuannya masih kurang semakin ketinggalan. Apalagi tugas dan ulangan dengan soal yang sama berlaku untuk semua siswa tanpa memandang kemampuan mereka. Akibatnya, dalam pembelajaran, siswa semakin tidak tertarik dan sering mencari cara untuk menghindari interaksi dengan guru. “Anak-anak merasa takut untuk ditanya. Mereka menundukkan kepala, atau malah minta izin ke luar kelas,” imbuh Yulius.

Berbeda dengan pengelompokkan yang dilakukan terlebih dahulu, dimana ia melakukannya setelah mendapatkan pelatihan dari INOVASI,

Yulius mengelompokkan siswanya berdasarkan hasil tes formatif. Dari hasil tes tersebut, Yulius mendapati siswanya terbagi ke dalam empat kelompok: membaca suku kata, membaca kata, membaca lancar, dan membaca pemahaman. Pengelompokkan ini kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan membaca terbimbing.

Pada dasarnya, kata Yulius, membaca terbimbing adalah membaca bersama dengan beberapa siswa dengan kemampuan membaca yang sama. “Dengan cara ini, kita bisa mengetahui lebih spesifik kemampuan setiap anak karena guru bisa menggali lebih dalam apa saja kesulitan yang dialami oleh siswa saat membaca,” kata Yulius.

Berikut langkah-langkah pelaksanaan kegiatan membaca terbimbing seperti yang dilakukan Yulius.

Pertama, guru membagikan buku cerita berjenjang kepada semua siswa dengan memperhatikan kelompok mereka. Semakin tinggi kemampuan membaca siswa, semakin tinggi juga jenjang buku yang diberikan. Buku dengan jenjang yang rendah mempunyai kalimat yang lebih pendek dibanding buku jenjang tinggi.

Selanjutnya, guru membacakan cerita lalu dilanjutkan dengan membaca bersama dengan suara pelan. Setelah itu, siswa membaca satu per satu dengan suara lantang. Jumlah halaman yang dibaca diatur sedemikian rupa sehingga setelah semua siswa membaca lantang, buku selesai dibaca. Saat siswa sedang membaca, guru bisa memberikan pertanyaan untuk menguji pemahaman siswa terhadap bacaan.

Berikutnya, guru memilih siswa secara acak untuk menceritakan kembali apa yang telah mereka baca dengan kalimat mereka sendiri. Terakhir, guru menanyakan apakah siswa mempunyai kesulitan selama membaca cerita, misalnya kata-kata yang sulit diucapkan. Ini bisa menjadi bahan guru untuk memberikan latihan tambahan bagi siswa-siswa yang kesulitan sebelum berpindah ke kelompok lainnya.

Menurut Yulius, kegiatan ini biasanya berlangsung selama 35 menit per kelompok. Saat kelompok satu sedang membaca bersama guru, kelompok lainnya mengerjakan tugas yang diberikan oleh Yulius di awal pembelajaran. “Misalnya, saya membacakan sebuah cerita dari Big Book dan meminta siswa untuk menggambar salah satu karakter yang ada dalam cerita tersebut,” kata Yulius. Kegiatan membaca terbimbing dilakukan Yulius setiap Sabtu.

Kegiatan membaca terbimbing dan berbagai strategi pembelajaran yang dilakukan Yulius telah berhasil menarik belajar siswa. Siswa jadi rajin ke sekolah. Sebelumnya, dari 20 siswanya, hampir setengahnya kerap tidak masuk sekolah. Namun saat ini, jumlah tersebut sudah berkurang. “Sekarang, kalau ada yang tidak hadir, biasanya tidak lebih dari dua siswa pada hari yang sama,” kata Yulius.

Peningkatan minat belajar juga dapat diamati dari kebiasaan siswa membaca buku berjenjang saat jam istirahat atau bermain dengan berbagai alat bantu pembelajaran yang ada di kelas. Kemampuan membaca mereka pun meningkat. Setiap pekannya, Yulius mencatat perkembangan kemampuan membaca siswanya dengan instrumen running record. Yulius menggunakan buku berjenjang berbeda untuk menguji kemampuan membaca siswanya dan setiap pekannya, semakin sedikit kesalahan dalam membaca yang dilakukan oleh siswa.

Bagi Yulius sendiri, kegiatan membaca terbimbing membantunya memahami lebih dalam kebutuhan belajar siswa sehingga mampu memberikan strategi pembelajaran yang sesuai. “Sebelumnya, saya merasa tidak mampu membuat strategi pembelajaran yang menarik bagi siswa. Tapi dengan mengetahui di mana kelemahan siswa, saya bisa mengembangkan strategi dan media yang sesuai untuk itu,” pungkasnya.