
Ditulis oleh: Erix Hutasoit
Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah digunakan di seluruh nusantara. Bagi mayoritas anak, bahasa daerah adalah bahasa pertama yang mereka kenal; bahasa yang mereka gunakan untuk memahami dunia. Namun, saat memulai pendidikan dasar, mereka diharapkan belajar menggunakan bahasa Indonesia; bahasa yang asing bagi mereka.
Inilah gagasan di balik pembelajaran berbasis bahasa daerah; sebuah pendekatan yang membantu anak-anak menguasai keterampilan literasi dalam bahasa yang mereka kenal sebelum beralih ke bahasa Indonesia. INOVASI, program kerja sama Pemerintah Indonesia dan Australia di bidang pendidikan dasar, bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menerapkan pendekatan ini di sejumlah wilayah Indonesia.
Kesulitan dalam Belajar
Di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, Yasinta Mau Ghari menyaksikan kesulitan yang dihadapi anak-anak dalam memahami pelajaran karena bahasa yang digunakan di sekolah berbeda dengan bahasa yang mereka gunakan di rumah. Sebagai guru kelas 2 di SD Inpres Wudu, ia melihat bagaimana siswa merasa asing dengan huruf dan kata-kata dalam Bahasa Indonesia. “Mereka melihat tulisan di buku, tetapi tidak paham maknanya,” ujar Yasinta. “Banyak yang tidak pernah pakai bahasa Indonesia di rumah, jadi semua terasa sulit,” tambahnya.
Jembatan Menuju Literasi
INOVASI bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Nagekeo dan Yayasan Sulinama untuk mengembangkan pendekatan “Transisi Bahasa Daerah ke Bahasa Indonesia”. Tujuannya, untuk membantu anak-anak memahami pelajaran dengan lebih baik.
Di Nagekeo, INOVASI memberikan bantuan teknis untuk mendukung program percontohan pemerintah daerah tentang transisi bahasa daerah, yang diluncurkan pada 2020. Program ini menggunakan bahasa Nage sebagai jembatan menuju bahasa Indonesia di 10 Pusat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan 10 Sekolah Dasar (SD), yang secara signifikan meningkatkan keterampilan dasar membaca dan menulis. Dengan pelatihan dan dukungan dari Tim Pengelola Pengembangan Kurikulum (TMPK), sekolah-sekolah percontohan berhasil mencapai hampir 100% kecakapan literasi di kelas awal. Kini, Pemerintah Kabupaten Nagekeo memperluas inisiatif ini ke semua sekolah di daerah tersebut dengan menggunakan dana lokal.
Para guru seperti Yasinta menerima pelatihan tentang cara membuat pembelajaran transisi ini berjalan lancar. Di kelasnya, ia menghabiskan 30 menit pertama menggunakan bahasa daerah Nagekeo sebelum beralih ke bahasa Indonesia. Ia juga menggunakan buku yang ditulis dalam kedua bahasa, memungkinkan siswa untuk menghubungkan kata-kata yang mereka kenal dengan kata-kata baru yang sedang mereka pelajari. Hasilnya sangat luar biasa.
“Sekarang, saat mereka masuk kelas 2, anak-anak sudah bisa mengenali huruf, memahami kata-kata, dan bahkan mulai menulis,” kata Yasinta. “Mereka bersemangat untuk belajar, sudah tidak takut lagi,” tambahnya.
Guru PAUD Santa Clara, Maria Margaretha Elu, juga merasakan hal yang sama. Menggunakan bahasa ibu dalam pembelajaran telah membuat anak-anak lebih percaya diri dan aktif. “Sekarang mereka lebih berani berbicara, bertanya, dan berinteraksi,” ujar Margaretha. “Sebelumnya, mereka cenderung diam. Tapi sekarang, mereka senang menjawab dan berpartisipasi,” pungkasnya.
Model yang Bisa Diterapkan di Berbagai Daerah
Keberhasilan pendekatan di Kabupaten Nagekeo hanya contoh kecil tentang apa yang dapat dicapai jika anak-anak diberi keterampailan dasar yang tepat. Persoalan ini lebih besar daripada hanya belajar bahasa; ini mengenai kesempatan yang adil bagi anak-anak untuk berhasil di masa depan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nagekeo, Venantius Minggu, menjadikan penguatan kemampuan literasi, numerasi dan karakter sebagai kebijakan prioritas pembangunan daerah. “Kebijakan ini juga menjadi dorongan untuk menjaga bahasa ibu di setiap daerah tetap lestari. Dengan dukungan dari berbagai pihak seperti INOVASI, pemerintah pusat, dan lembaga pendidikan, kami berharap program ini bisa menjadi contoh baik bagi daerah lain yang menghadapi tantangan serupa”, ungkapnya.